S aya kaget ketika salah seorang teman memberi tahu bahwa Bang Oscar (bukan nama sebenarnya) akhirnya berjualan ikan. Bang Oscar, orang Tapanuli yang lembut dan baik hati, adalah salah satu senior saya di perusahaan sekuritas/pialang saham tempat saya bekerja pada tahun 1990-an. Waktu itu, saya sudah terbiasa mendengar mantan bankir atau pialang saham yang membuka warung makan untuk bertahan hidup. Tapi mendengar Bang Oscar berjualan ikan benar-benar membuat hati saya merasa teriris.

Krisis ekonomi tahun 1997/1998, atau secara populer lebih dikenal sebagai Krismon (Krisis Moneter) merupakan krisis ekonomi terburuk dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan perusahaan bangkrut. Bank-bank ditutup dan dilikuidasi. Proyek-proyek konstruksi terbengkalai dimana-mana, bahkan hingga hari ini masih banyak proyek dari era tersebut yang masih terlantar. Setiap beberapa hari,  saya mendengar seseorang yang saya kenal kehilangan pekerjaan. Jutaan masyarakat Indonesia kehilangan pekerjaan, kehilangan mata pencaharian.

Sektor perbankan, sebagai tulang punggung sektor keuangan, jelas mengalami tekanan yang sangat berat. Ditutup dan dilikuidasinya sejumlah bank berakibat beribu-ribu bankir tiba-tiba harus kehilangan pekerjaan. Di luar sektor keuangan, sektor properti, konstruksi, dan yang terkait merupakan  sektor yang terkena dampak sangat berat.

“Lupakan gengsi menjadi bankir atau profesional pasar modal yang waktu itu kedengarannya sangat mentereng dengan gaji premium.”

Life must go on, keluarga harus tetap makan, anak-anak mesti tetap sekolah. Ribuan profesional keuangan mencari segala cara untuk bertahan. Banyak yang bekerja di bidang apa pun dengan gaji berapa pun. Lupakan gengsi menjadi bankir atau profesional pasar modal yang waktu itu kedengarannya sangat mentereng dengan gaji premium.

 

krisis moneterCukup banyak juga yang memutuskan untuk berusaha sendiri, karena lowongan di perusahaan-perusahaan hampir tak ada. Usaha di sektor kuliner sebuah pilihan yang banyak di pilih. Lahan terbengkalai di kawasan SCBD Jakarta didayagunakan untuk menampung orang-orang yang ingin berbisnis kuliner. Tenda-tenda makanan berserakan di SCBD (Sudirman Central Business District), yang kemudian dikenal sebagai Kampung/Kafe Tenda Semanggi (KTS). Banyak dari mereka yang membuka warung tenda makanan tersebut adalah ex-bankir atau pialang saham.

Dan, bahkan Bang Oscar pun sekarang terpaksa harus berjualan ikan, mengambil ikan di Muara Angke dan membawanya ke pasar di Jakarta. Padahal, beberapa bulan sebelumnya beliau adalah seorang pialang saham senior berkantor di lantai tinggi pada sebuah gedung yang paling prestisius waktu itu di Jakarta, Gedung BEJ.

Gejolak di Pasar

Seperti nama yang diberikan masyarakat, yaitu Krismon (Krisis Moneter), krisis ekonomi yang dialami Indonesia waktu itu berawal dari krisis moneter, atau krisis mata uang. Bagi masyarakat luas indikator yang paling jelas adalah anjloknya nilai rupiah, yang dalam hitungan bulan nilainya tinggal hanya sekitar sepuluh atau duapuluh persen saja. Sebelum krisis bermulai, nilai US$1 setara dengan Rp2.400,  namun krisis kemudian mempurukkan nilai rupiah hingga pada satu titik US$1 dihargai senilai Rp18.000.

Hal serupa terjadi di pasar modal Indonesia, IHSG tumbang dari titik tertingginya 740 hingga  tinggal hanya sepertiga nilainya, yaitu 256. Bagi pemodal asing, setelah disesuaikan lagi dengan penurunan nilai rupiah terhadap dollar, nilai investasi mereka di pasar saham Indonesia yang tersisa mungkin tak sampai 10%. Banyak orang mungkin kehilangan uangnya sama sekali, karena saham yang mereka pegang tiba-tiba tak bernilai lagi sama sekali, karena perusahaan yang menerbitkan saham tersebut bangkrut.

Apa yang terjadi di pasar keuangan merefleksikan dan berkaitan dengan apa yang terjadi di ekonomi. Aktivitas ekonomi kita amblas, merosot sebesar -13.8% pada tahun 1998, penurunan yang terbesar yang pernah dialami oleh Indonesia. Inflasi juga membubung tinggi mencapai 70%, seiring dengan anjloknya nilai mata uang kita. Untuk membantu menstabikan kondisi moneter, BI menaikkan suku bunga lebih dari 60%, yang mencekik perusahaaan dan pebisnis.

From Krismon to Krisek, Krispol, and Krisos

Betul, yang terjadi awalnya adalah ‘sekedar’ Krisis Moneter, yaitu ancaman terhadap nilai Rupiah. Namun instabilitas dalam nilai Rupiah ini mencerminkan permasalahan fundamental dalam perekonomian kita. Sehingga diambil tindakan untuk ‘mengakui’ permasalahan tersebut dan mencoba memperbaikinya. Nilai rupiah terhadap dollar dibiarkan mengambang tanpa lagi diatur oleh BI, suku bunga dinaikkan, bank-bank bermasalah ditutup, dan lain sebagainya.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan mengalami kesulitan karena harus berhadapan dengan situasi yang lebih “riil” ini. Nilai hutang dalam dollar tiba-tiba melonjak karena rupiah melemah, hutang dalam rupiah pun terasa mencekik, karena bunga yang harus dibayar membubung tinggi. Di sisi lain kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan runtuh karena dilikuidasinya beberapa bank. Kemampuan bangsa kita untuk mengimpor barang, baik untuk konsumsi dan produksi, menurun drastis karena impor menjadi sangat mahal sejalan dengan turunnya nilai rupiah. Banyak perusahaan dan industri harus tutup karena tak memiliki lagi pasokan impor untuk tetap berproduksi.

Permasalahan yang dihadapi perusahaan-perusahaan segera menjelma menjadi permasalahan bank dan investor di sektor keuangan. Banyak perusahaan angkat tangan dalam membayar kewajibannya pada kreditur terutama bank, yang mengakibatkan melonjaknya kredit macet pada bank. Bank pun terbenam dalam permasalahan yang sangat pelik.

Karena bank dibiayai oleh dana masyarakat, maka permasalahan ini tentu akan berimplikasi pada masyarakat luas, kecuali jika pemerintah memutuskan untuk mengambil alih permasalahan tersebut. Pemerintah pada awalnya membiarkan ini menjadi problem dan pelajaran bagi masyarakat penabung dengan menutup 16 bank. Namun ketika krisis semakin memuncak, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengambil alih bank-bank bermasalah tersebut — yang tentunya dengan menggunakan uang pajak masyarakat juga.

Krisis moneter sekarang menjadi sebuah Krisis Ekonomi, a full blown economic crisis. Krisis ekonomi yang menyentuh semua lapisan masyarakat ini,  menimbulkan ketidakpuasan yang dalam. Masyarakat menjadi semakin kritis terhadap kebijakan dan keberpihakan ekonomi yang diambil pemerintah selama ini. Masyarakat menganggap kebijakan ekonomi tersebut berkaitan dengan rezim politik berkuasa. Banyak yang percaya krisis ini menjadi sebuah momentum yang tepat untuk merubah dan memperbaiki sistem politik dan kekuasaan di Indonesia.

Gejolak ekonomi membuahkan Krisis Politik, gerakan tokoh politik dan tokoh masyarakat lainnya disambut oleh gerakan mahasiswa dan massa yang terus menggelinding membesar. Krisis politik ini berpuncak dengan mundurnya Preside Suharto pada bulan Mei 1998, setelah berkuasa lebih dari 32 tahun di Indonesia.

“Ibu Pertiwi tak lagi menangis, ia meraung-raung berurai airmata.”

Namun semua keriuhan yang terjadi pada ekonomi dan politik juga memicu gesekan sosial, mengekspose titik-titik lemah kebermasyarakatan rakyat Indonesia, dan juga memberikan peluang bagi orang-orang yang tak bertanggung jawab mengeksploitasinya. Krisis Sosial merebak dalam masyarakat, speerti yang terjadi pada bulan Mei 1998, Jakarta berapi dan berasap, kerusuhan dan pengrusakan bernuansa SARA terjadi di berbagai tempat. Hal serupa terjadi juga di beberapa kota lain di Indonesia. Keriuhan sosial lainnya berlanjut beberapa waktu kemudian di beberapa tempat, seperti kerusuhan bernuansa etnis di Kalimantan dan kerusuhan berlatar agama di Maluku yang jauh lebih mengenaskan.

Indonesia rasanya luluh lantak oleh berbagai huru-hara. Saya bilang pada seorang teman waktu itu: Ibu Pertiwi tak lagi menangis, ia meraung-raung berurai airmata.

Kenapa Krisis Terjadi?

Yang pertama, krisis ini terjadi karena over investment  dan capital misallocation, yaitu alokasi modal atau investasi yang tidak efisien dan produktif, tidak memiliki kelayakan yang cukup, dan dilakukan secara berlebihan. Berbagai proyek properti, konstruksi, manufaktur, proyek “nasional strategis” seperti mobnas, dan lain-lain, dilaksanakan tanpa proses kelayakan yang cukup atau  asumsi yang realistis.

Yang kedua, tidak hanya pengalokasiannya yang tidak efektif dan efisien, pendanaan dan pengelolaan keuangannya pun tidak dilakukan secara bijak. Pendanaan melalui utang dalam mata uang asing menjadi pilihan yang banyak diambil, yang menyebabkan melejitnya pinjaman luar negeri Indonesia, dan tidak dilakukan pengelolaan yang tepat, misalnya melalui hedging (lindung nilai). Hal ini mengekspose perusahaan-perusahaan Indonesia terhadap risiko mata uang, yang akhirnya memang terjadi ketika nilai rupiah mulai merosot.

Yang ketiga, kebijakan dan rezim perekonomian Indonesia, termasuk kebijakan moneter, yang sedemikian rupa sehingga memberikan false signal pada pelaku ekonomi, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Nilai rupiah yang stabil, inflasi yang rendah, misalnya bisa dikatakan artifisial (to some extent). Karena kebijakan moneter yang mengelola dan mengatur nilai mata uang, nilai rupiah tidak merefleksikan nilai aktualnya. Dalam bahasa ekonomi, telah terjadi apresiasi riil rupiah (real exchange rate appreciation) yang membebani perekonomian, akibat dikontrolnya nilai rupiah. Stabilitas inflasi sebagian juga disebabkan oleh stabilnya mata uang, dan oleh  subsidi yang disediakan pemerintah.

“Kebijakan dan rezim perekonomian Indonesia memberikan false signal pada pelaku ekonomi.”

Ketika pemerintah dan otoritas moneter mengalami tekanan ekonomi eksternal yang semakin kuat, mereka tak mampu lagi mempertahankan semua itu. Bank sentral terpaksa melepas nilai rupiah secara bebas, misalnya.

Yang keempat, adalah tata kelola yang kurang baik (corporate governance) di sektor swasta, termasuk perbankan. Tata kelola yang kurang baik ini tidak hanya berakibat pada pemberian kredit yang tidak layak, tetapi juga penyalahgunaan dana masyarakat oleh pihak-pihak yang mengontrol bank (pemilik) untuk mendanai bisnis mereka sendiri.

Yang kelimawith the benefit of hindsight, setelah ditinjau di kemudian hari, kebijakan-kebiajakan yang diambil untuk mengatasi krisis itu sendiri mungkin telah berkontribusi terhadap makin besarnya krisis. Likuidasi 16 bank pada bulan November 1997, misalnya, bagi sebagian pihak dianggap berperan terhadap eskalasi krisis di pasar. Tentu juga, kita tidak dapat menutup mata pada penyalahgunaan instrumen kebijakan yang terjadi saat itu, seperti BLBI, dan lain-lain.

krismon krisis moneter
Credit Photo to Kang Denisz.

Kini, dua puluh tahun telah berlalu, Indonesia telah kembali tegar berdiri, Ibu Pertiwi pun tersenyum kembali. Tapi mudah-mudahan kita tidak melupakan pelajaran yang sangat berarti dari krisis multi dimensi tersebut. Dan, saya yang telah kehilangan kontak dengan Bang Oscar, sungguh-sungguh berharap beliau sehat-sehat dan baik-baik saja adanya.

 

Baca Juga

— Kita Terlalu Mengagung-agungkan Kerja Keras?

 — Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mata Uang Dalam Jangka Menengah 

— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi

— Mengenal Hedge Fund, Private Equity, dan Venture Capital

— Pertarungan Antara Samurai vs Shogun di Dunia Obligasi Internasional

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY