I

ndustri perbankan mendapat sorotan kembali mengenai tingginya suku bunga kredit. Pejabat tinggi negara mengekspresikan harapannya agar bank dapat memainkan peran lebih baik sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan menurunkan suku bunga. Bahkan, sebelumnya Presiden Jokowi diberitakan memanggil menteri dan pejabat tinggi negara lainnya, termasuk Ketua OJK dan Gubernur BI,  berkaitan dengan masih tingginya suku bunga kredit.

Meminta bank untuk menurunkan suku bunga kredit, bukanlah sesuatu yang baru. Para pengusaha juga sering mengeluhkan tingginya suku bunga kredit.

Bagi bank, tinggi rendahnya suku bunga kredit, tentu tergantung dari tingkat suku bunga deposito yang dibayarkan pada deposan, yang merupakan “harga pokok penjualan” bagi bank. Selanjutnya,  seberapa besar “marjin” yang ingin diambil bank dalam menjalankan bisnisnya.

Marjin Bank yang Tinggi?

Tingkat suku bunga yang tinggi di Indonesia sering dibandingkan dengan suku bunga yang rendah di negara-negara lain. Industri perbankan berdalih bahwa tingkat inflasi yang tinggi dan suku bunga kebijakan (policy rate) yang juga tinggi di Indonesia membuat suku bunga umum juga tinggi di Indonesia.

suku bunga kreditNamun, pihak yang kritis menunjukkan, bahwa tingginya suku bunga di Indonesia tidak semata-mata karena inflasi dan kebijakan suku bunga BI, tetapi karena perbankan di Indonesia mengambil marjin dan keuntungan yang tinggi. Apalagi misalnya, BI telah menurunkan suku bunga acuan beberapa kali dalam 1-2 tahun terakhir namun penurunan suku bunga kredit perbankan dinilai  terlalu lambat.

Selisih antara tingkat bunga kredit yang dibebankan kepada kepada peminjam dibandingkan  suku bunga yang dibayarkan kepada deposan, atau dikenal dengan istilah NIM (net interest margin), sangat tinggi. NIM perbankan Indonesia yang mencapai 5%-6% dua atau tiga kali lipat lebih besar dibandingkan NIM di beberapa negara lain, termasuk negara-negara tetangga.

Tetapi tingginya NIM belum tentu membawa tingkat keuntungan yang tinggi. Sama halnya jika kita memiliki bisnis restoran, selisih  harga jual makanan terhadap harga bahan-bahan bukanlah keuntungan bersih yang diterima. Karena, kita harus membayar sewa tempat, gaji pegawai, biaya keamanan, dan juga untuk antisipasi jika ada makanan atau bahan makanan yang tersisa dan tidak  terjual, pemesan makanan yang tidak membayar, dan lain-lain.

Demikian juga halnya dengan bank. Bank harus membayar berbagai biaya operasional. Selain itu bank juga harus mengeluarkan dan mencadangkan biaya yang cukup besar untuk mengantisipasi kredit macet, pinjaman yang diberikan namun tidak dikembalikan sepenuhnya oleh peminjam. Biaya kredit bermasalah ini merupakan bagian inheren dari bisnis sebuah bank yang tidak dapat dihindari — namun tentu dapat dikelola dan diminimalisasi.

Tingkat kredit bermasalah (NPL) yang berkisar sekitar 3% dapat memberikan gambaran bahwa ada potensi biaya kredit yang cukup besar yang harus ditanggung perbankan. Tentu, tidak semua kredit bermasalah berakhir dengan hilangnya dana bank. Sebagian bisa direstrukturisasi, sebagian membaik seiring dengan membaiknya kondisi perusahaan atau perekonomian, sebagian dapat dikompensasi dengan penjualan aset peminjam, misalnya.

Jadi, apakah bank-bank di Indonesia benar-benar mengambil tingkat keuntungan yang berlebihan atau abnormally high profit, sehingga perlu diintervensi untuk mengurangi keuntungan mereka dengan menurunkan tingkat suku bunga.

Tingkat Keuntungan Bank vs Perusahaan Lain

Tingkat keuntungan efektif bagi bank, atau bagi pemegang saham bank, adalah laba bersih yang diperoleh relatif terhadap modal yang dimiliki, atau Return on Equity (ROE). Jika kita lihat dari data statistik OJK, sejak awal dekade ini, yaitu tahun 2011, hingga akhir tahun 2016, rata-rata  bank adalah 15.3%

Apakah ROE yang 15.3% dianggap tinggi dan sangat berlebihan? Sebagai fund manager dan analis perusahaan, saya menilai angka sebesar itu untuk konteks Indonesia tidaklah tinggi, apalagi dianggap berlebihan.

Banyak cara menilai apakah ROE sebesar itu tinggi atau bukan, namun, tidak ada jawaban yang eksak. Namun, kita dapat bandingkan dengan perusahahaan-perusahaan lain, yaitu semua perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam periode yang sama, semua perusahaan di BEI memperoleh  ROE rata-rata sebesar 13.3%.

suku bunga kreditArtinya, ROE perbankan Indonesia hanya 2% di atas ROE rata-rata perusahaan di Indonesia. Sulit disimpulkan perbedaan 2% ini sebagai sesuatu yang berlebihan. Bahkan, jika kita lihat angka terakhir, yaitu 2016, perbedaannya lebih tipis lagi. ROE perbankan 11.6% vs ROE seluruh perusahaan di BEI 10.9%. Sebagai catatan, ini hanya perhitungan cepat saja. Perhitungan dan analisa lebih akurat dapat dilakukan.

Mungkin ada argumentasi, bahwa ROE bank yang hanya 11%-15% barangkali disebabkan oleh ketidakefisienan bank, buktinya NIM bank dua tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan bank-bank di negara lain. Bisa jadi demikian, bahwa bank-bank di Indonesia belum terlalu efisien dibandingkan bank-bank di negara lain. Pertanyaannya, apakah ketidakefisienan ini unik berkaitan dengan industri perbankan atau berkaitan dengan karakteristik perekonomian Indonesia?

Sulit dijawab secara definitif, tanpa studi yang mendalam. Akan tetapi, jawaban saya lebih cenderung pada kondisi secara keseluruhan di Indonesia yang mengakibatkan biaya bisnis, baik bagi bank maupun non-bank, lebih tinggi dari banyak negara lain. Secara umum, justru bank-bank di Indonesia dianggap lebih ‘maju’ dan efisien dibandingkan sektor lainnya, baik dari sisi proses, adopsi teknologi, tata kelola, dan lain-lain.

Unfair advantage  kemungkinan dapat diperoleh juga dari tingkat kompetisi yang rendah. Namun dengan jumlah bank yang masih sangat banyak, tidak terlihat kondisi yang mengindikasikan dinamika kompetisi di industri perbankan yang lebih longgar dibandingkan sektor lain.

Tingkatkan Efisiensi Bank, tapi Bukan untuk Mensubsidi Sektor Lain

Strategi dan kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi dalam membangun infrastruktur, menggairahkan industri manufaktur, dan menggerakkan semua mesin-mesin pertumbuhan dalam lingkungan perekonomian global dan regional yang tidak sebaik dekade lalu, sudah sangat tepat dan perlu didukung habis-habisan. Perbankan sebagai jantung utama perekonomian Indonesia perlu berperan aktif dan  maksimal.

suku bunga kreditAkan tetapi, perlu keberhati-hatian dalam mendorong bank untuk melonggarkan kran kreditnya dan menurunkan suku bunga pinjaman. Ketidakefisienan di sektor perbankan, jika teridentifikasi dengan baik dan jelas,  harus diperbaiki dengan komitmen penuh. Namun, hal yang sama harus dilakukan terhadap sektor-sektor lain, sehingga credit worthiness nya juga membaik dan layak mendapat bunga kredit yang lebih rendah. Jika tidak, memaksa bank untuk menurunkan suku bunga, sama saja meminta bank untuk ‘mensubsidi’ ketidakefisienan sektor lain.

Jika sektor non-keuangan mendapat kemudahan dengan biaya bisnis (tingkat bunga) yang rendah, dengan mengorbankan potensi marjin pada industri perbankan,  investor tentu akan lebih memilih berinvestasi di sektor non-keuangan. Akibatnya, harapan untuk meningkatkan efisiensi industri perbankan pun bisa pudar.

Dan, tentu kita tahu, jika biaya memperoleh pinjaman lebih rendah dari yang seharusnya, perusahaan-perusahaan akan termotivasi mengambil risiko yang lebih besar dan mendorong penciptaan kredit yang tidak produktif bagi ekonomi.

Perlu diingat, peningkatan pertumbuhan kredit tidak semata-mata karena faktor harga atau suku bunga saja. Jika penurunan suku bunga tidak diimbangi dengan pertumbuhan kredit, kemungkinan besar memang kebutuhan riil akan kredit belum meningkat. Di banyak negara maju, menyusul krisis finansial tahun 2008,  tingkat suku bunga yang mendekati nol pun tidak mendorong pertumbuhan kredit dengan cepat.

Subsidi dari Penabung?

suku bunga kreditBagaimana dengan bunga deposito sendiri? Kenapa bank tidak menurunkan tingkat bunga deposito, sehingga dapat menurunkan suku bunga kredit tanpa mengurangi tingkat profitabilitas? Jika penurunan suku bunga deposito terjadi bukan karena kondisi lingkungan perekonomian dan persaingan sehat industri perbankan, sama saja artinya masyarakat penabung (savers) ‘mensubsidi’ pengusaha, dengan menerima bunga deposito yang rendah dari seharusnya, agar pengusaha dapat membayar bunga pinjaman yang rendah dari semestinya. Terutama ketika pasar modal dan produk-produknya belum terlalu berkembang dan dipahami baik sebagai sarana investasi.

 

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY