Dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, persepsi sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap China atau RRC adalah sebuah negara terkebelakang yang lebih miskin dari Indonesia. Yang terbayang adalah negeri dimana orang-orang berpakaian sederhana berjalan kaki atau mengendarai sepeda di kota-kota yang suram di antara propaganda-propaganda rezim yang berkuasa. Apalagi komunis, sebagai ideologi utama di RRC, reputasinya sangat buruk di mata masyarakat Indonesia.

Namun saat ini, berjalan-jalan di kota Shanghai, misalnya, kita tak ubahnya serasa berada di kota metropolitan di Jepang, Singapura, Hong Kong, atau di negara-negara maju di Eropa. Bahkan, kota-kota tingkat propinsi di RRC pun terasa jauh lebih modern dan rapih dibanding Jakarta.

Ekonomi China
SHANGHAI: Perubahan Shanghai dalm 20 tahun, foto diambil pada titik yang sama. Source: China Daily.

Pertumbuhan ekonomi China atau RRC dalam dua tiga dekade terakhir merupakan sebuah keajaiban besar dalam sejarah perekonomian modern dunia. Tidak hanya tingkat pertumbuhannya, tetapi juga skalanya yang mencengangkan, meningkatkan taraf hidup lebih dari 1.3 miliar penduduk RRC, atau sekitar 20% dari populasi dunia.

Dalam seperempat abad terakhir ekonomi RRC telah tumbuh 30 kali lipat, bandingkan dengan perekonomian Indonesia dalam periode yang sama yang hanya tumbuh 8 kali lipat. Jadi memang tidak hanya secara kasat mata, secara data dan statistik China telah meninggalkan Indonesia jauh di belakang.

The Battle for #1: China or USA?

Mengingat besarnya populasi China, tak dapat diragukan lagi China telah menjadi kekuatan ekonomi utama dunia. Sering muncul pertanyaan atau perdebatan, apakah China telah menggantikan AS sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia? Jawabannya jelas tergantung indikator apa yang dilihat.

Dalam sebuah survey oleh Pew Research Center baru-baru ini, masyarakat dunia “terpecah”, sebagian masih menganggap AS sebagai kekuatan ekonomi dunia, sebagian lainnya menganggap China.Namun, secara rata-rata, persepsi masyarakat dunia masih menempatkan AS sebagai no.1 vs China, yaitu 42% vs 32%. Lucunya, negara-negara maju cenderung menganggap China lebih kuat, sementara negara-negara berkembang cenderung berpersepsi bahwa AS masih merupakan kekuatan ekonomi utama dunia.

Ekonomi China dan AS

Memang, kalau berbicara tentang ukuran ekonomi secara harfiah, kita harus membandingkan GDP (Gross Domestic Production) atau PDB (Produk Domestik Bruto), indikator yang menghitung total produksi dalam sebuah negara. Pihak yang menganggap AS masih menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia akan merujuk pada data GDP ini.

Jika kita tilik pada data GDP dari berbagai sumber, seperti Bank Dunia atau IMF, memang perekonomian AS masih jauh lebih besar dari China. Berdasarkan data akhir tahun 2016 yang lalu, misalnya, ekonomi atau GDP AS mencapai US$18.6 triliun atau 65% lebih besar dari GDP China yang baru mencapai US$11.2 triliun. Sebagai perbandingan total GDP Indonesia hanya US$0.9 triliun.

Ekonomi China dan AS
Lima negara dengan nilai GDP terbesar. Source: World Bank, Bloomberg.

Perlu diketahui, angka GDP cukup akurat membandingkan perekonomian dalam negara yang sama atau negara berbeda dengan tingkat harga yang serupa. Namun, dapat memberikan kesimpulan yang menyesatkan jika kita membandingkannya antar negara, ketika tingkat harga cukup berbeda satu sama lainnya.

Nominal GDP mengukur aktivitas produksi dalam perekonomian dengan menggunakan “uang” sebagai alat ukur, dalam hal ini Dollar AS. Sebuah negara, katakan negara A, yang memproduksi 1000 unit mobil, dengan harga US$1,000 per unitnya maka GDP negara tersebut adalah US$1 juta — anggap tidak ada produksi lain di negara tersebut. Tetapi negara lain, negara B, yang memproduksi mobil sejumlah 1000 unit juga, tetapi diperjualbelikan di negara tersebut dengan harga lebih mahal yaitu US$2,000, maka GDP negara tersebut adalah US$2 juta.

GDP PPP

Perbedaan harga menyebabkan perhitungan nilai GDP di satu negara berbeda dengan negara lainnya. Dalam kasus di atas, negara A dan B sebetulnya memiliki ukuran ekonomi yang sama, namun secara nominal negara B dianggap memiliki ekonomi yang lebih besar karena harga yang lebih mahal.

Nah, tingkat harga di berbagai negara di dunia berbeda satu sama lainnya. Untuk menyesuaikan perbedaan harga ini, maka nominal GDP harus disesuaikan dengan perbedaan tingkat harga. GDP yang telah disesuaikan dengan perbedaan harga ini biasanya dinamakan GDP (PPP), yaitu GDP berdasarkan Purchasing Power Parity, alias berdasarkan daya beli yang sama.

Jadi, dalam contoh negara A dan B di atas, jika berdasarkan paritas daya beli, maka GDP negara B harus dibagi 2, karena harga barang di sana dua kali lipat lebih tinggi dari negara B. Jadi GDP (PPP) negara B = US$1 juta = sama dengan GDP (PPP) negara A. Yang secara riil memang sama, karena sama-sama memproduksi mobil 1000 unit.

Umumnya, harga di negara-negara yang lebih maju lebih tinggi dibandingkan tingkat harga di negara-negara berkembang. Demikian juga harga barang-barang antara di AS dan China. Jadi untuk membandingkan ukuran ekonomi, atau aktivitas produksi, di AS dan China, maka kita harus menyesuaikannya dengan perbedaan harga di kedua negara. Dengan menggunakan harga di AS sebagai acuan. Setelah disesuaikan ternyata GDP (PPP) di China lebih besar, yaitu US$21.3 triliun vs GDP (PPP) AS yang hanya US$18.6 triliun. Perhitungan dari IMF juga menunjukkan hal yang sama.

Jadi secara riil, ekonomi China lebih besar dari AS. China memproduksi barang dan jasa lebih besar dari AS. Selama ini ekonomi AS dianggap lebih besar dari China hanya karena tingkat harga-harga barang dan jasa lebih tinggi di AS.

Sebagai contoh yang aktual, coba kita bandingkan angka penjualan mobil di China dan AS berikut. Dalam berapa tahun terakhir, angka penjualan mobil di China cukup konsisten jauh lebih besar dari AS, yang dikenal sebagai negara pencinta mobil.

Namun perlu diketahui, meskipun GDP (PPP) China atau RRC terbesar di dunia, bukan berarti China adalah negara yang paling makmur di dunia. Karena perekonomian yang besar ini merupakan hasil produksi hampir 1.4 miliar penduduk RRC. Sementara AS memproduksinya dengan 300 juta penduduk saja. Jika menggunakan GDP sebagai proxy untuk mengukur kemakmuran negara, maka kita harus menggunakan GDP per kapita, yaitu total GDP dibagi jumlah penduduk.

Saat ini, negara-negara dengan GDP per kapita sebagian besar adalah negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara, juga negara-negara Timur Tengah produsen minyak, serta negara-negara industri di Asia.

BACA JUGA:

Ada Apa dengan China,  dan Australia

— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi

— Black Monday: Ketika Awan Hitam Menyelimuti Bursa

Louis Vuitton dan Hermes Hanya Jual Merek?

— Ke(tidak)sempurnaan Seorang Pemimpin

 

Salam, Riki Frindos – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

2 COMMENTS

  1. kalau untuk soal besaran ekonomi dari segi produksi dll itu china melebihi as tapi untuk banyaknya uang dan kesejahteraan cina belum apa apa di bandingkan AS

    • Betul, tapi kalo ditilik dari gap kaya miskin maka gap di AS terlalu tajam kerena menganut sistem kapitalis. Sedangkan di Cina tak terlalu tajam kerena menganut sistem sosialis. Kalau dilihat dari sudut pandang keadilan maka sistem sosial Cina masih punya keadilan. Di AS modal dan penumpukan uang adalah segalanya, persetan anda miskin. Di Cina awalnya negara menyediakan infatruktur terutama peruntukan tanah, tenaga kerja ditingkatkan, disekolahkan dan modal awal bagi indivual atau lembaga untuk berusaha. Bila ada keuntungan tak boleh disimpan lama2 dibank dan harus beli obligasi dari negara untuk modal diinvestasikan lagi, begitu selanjutnya. Pasti ada keuntungan kerena pasarnya di Cina begitu besar maka siapa individu yang rajin dan pintar mengola dialah yang menjadi kaya seiring juga negara menumpuk modal dari keuntungan individu tersebut untuk digunakan pada pembangunan yang terencana dgn baik. Tak terhitung orang kaya raya di Cina seperti Jack Ma dan majunya negara Cina sekarang ini dalam waktu singkat. Di Cina baru sekitar 400-500 juta jiwa yang mengikuti program ini setara dengan tingkat hidup barat. Masih tersedia 1miliar jiwa duduk manis dibangku cadangan dengan hidup layak disubsidi. Pemerintahnya mungkin menyadari bahwa kalau semua 1,4 miliar dibuka untuk hidup setara dengan barat maka semua sumber daya bahan baku dunia tidak cukup untuk melayaninya dan akibatnya dunia menjadi goncang. Cina tahu diri juga ya.

LEAVE A REPLY