“There are no secrets to success. It is the result of preparation, hard work and learning from failure.”

— Colin Powell

Kerja keras adalah kunci kesuksesan. No question about it. Tanpa kerja keras rasanya hampir mustahil sebuah keberhasilan bisa dicapai. Berbagai macam quote atau kata bijaksana yang menegaskan bahwa kerja keras adalah kunci keberhasilan, seperti kata-kata Colin Powell, mantan Menteri Pertahanan AS, yang saya kutip di atas.

Namun apa benar keberhasilan hanya karena kerja keras? Colin Powell bilang juga karena persiapan, dan juga dengan belajar dari kegagalan. Akan tetapi, persiapan dan belajar dari kegagalan juga membutuhkan kerja keras. Ujung-ujungnya dibalik semua keberhasilan adalah kerja keras, kalau begitu.

Tapi, kurang kerja keras apa para pembantu rumah tangga, yang harus siap 24 jam membantu majikannya? Kurang kerja keras apa supir truk antar kota dengan peluang istirahat yang terbatas? Kurang kerja keras apa pedagang sayur di pasar Kramat Jati yang telah mulai bekerja sebelum subuh? Kurang kerja keras apa nelayan pesisir yang mengarung samudra di tengah panas, badai dan gelombang?

“Tapi, kurang kerja keras apa para pembantu rumah tangga, yang harus siap 24 jam membantu majikannya?”

Tidak hanya karena kerja keras, kata seseorang, pengetahuan dan keterampilan juga adalah faktor dibalik kesuksesan. Kerja keras tanpa keterampilan dan pengetahuan yang cukup, hasilnya tidak sepadan dengan kerja keras yang dlengkapi dengan keterampilan dan pengetahuan. Tapi bukankah untuk menjadi terampil dan berpengetahuan diperlukan kerja keras, yaitu kerja keras dalam belajar? Rajin pangkal pandai, malas pangkal bodoh kita diajarkan dari kecil. Betul, tapi dengan usaha yang sama, seseorang yang cerdas, berinteligensi tinggi, akan mampu belajar dengan lebih cepat dan efisien, dan tentunya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi.

Jadi, selain kerja keras ada faktor inteligensi, faktor kecerdasan. Kecerdasan yang dimaksud di sini termasuk  kecerdasan logis, matematis, emosional, komunikasi, atau kecerdasan apa pun  yang berkontribusi terhadap keberhasilan.

Kerja Keras Overrated?

Bagi saya nasib, entah keberuntungan, ketidakberuntungan, atau kesialan, adalah faktor yang sangat signifikan dalam keberhasilan atau kegagalan. Tentu, kita tidak bisa berserah pada nasib, dan berharap keberuntungan membawa keberhasilan. Keberuntungan hanya dapat dimanfaatkan oleh orang yang bekerja keras.

Namun, saya rasa kita terlalu mengagung-agungkan dan overrate kerja keras. Atau lebih tepatnya, kita cenderung mengabaikan dan meng-underestimate faktor nasib atau luck.  Saya tidak berkeinginan untuk mendowngrade  kerja keras, sama sekali tidak. Tapi kita mungkin harus lebih humble dan  mengapreasiasi luck. Nasib atau luck  berperan lebih besar dalam keberhasilan kita, lebih dari yang kita sadari.

Pada satu titik dalam perjalanan hidup dan karir saya, saya menengok kiri dan kanan. Melihat beberapa teman dan kerabat, atau orang-orang di sekitar saya, yang karirnya tidak atau belum “seberhasil” saya. Saya berbicara pada diri saya sendiri, bahwa keberhasilan yang saya peroleh saaat itu adalah buah dari kerja keras saya bertahun-tahun, tunggang tunggik mencoba berbuat sesuatu.

Tapi ketika saya eksplorasi lebih jauh, saya akui banyak dari orang-orang di sekitar saya tersebut bekerja tak kalah kerasnya dari saya, bahkan sebagian mungkin bekerja lebih keras. Saya berfikir, barangkali ini semua karena saya lebih terampil dan berpengetahuan. Tapi saya lihat, banyak juga diantara orang-orang tersebut yang cukup terampil dan pintar, mungkin lebih pintar dari saya. Tak dapat dipungkiri yang membedakan saya dan mereka adalah nasib, saya diberkahi keberuntungan atau luck, lebih dari mereka. Mereka tertimpa kesialan lebih dari saya.

Seseorang memuji saya bahwa “keberhasilan” saya mungkin karena kecerdasan dan bakat saya dalam beberapa bidang tertentu. Anggaplah puja-puji ini benar, tetapi, apakah kecerdasan saya ini semata-mata hasil kerja keras? Tidak, kecerdasan atau bakat kita adalah given, kita terima begitu saja, mungkin faktor genetik atau karena faktor random saja. Sebagian dari kita beruntung lebih cerdas dalam hal-hal tertentu, dan sebagian kita sial terlahir kurang cerdas.

(Setelah sekian lama waktu berjalan, saat ini jangan-jangan beberapa dari teman saya tersebut melakukan refleksi serupa, kenapa saya sekarang tidak seberhasil mereka…)

Keberuntungan yang “Melekat”

Jadi, dalam pandangan saya, keberhasilan kita dalam hidup ini hanya karena dua hal, kerja keras dan luckLuck  tidak hanya sesuatu yang terjadi by accident. Eh, secara nggak sengaja kita duduk bersebelahan di pesawat dengan CEO perusahaan besar, yang membuka jalan untuk karir atau bisnis kita. Eh, nggak sengaja kita menemukan dompet dan duit segepok yang ternyata punya Raisa, akhirnya kita jadi artis juga.

Tapi, terlahir cerdas, cantik, lebih tinggi, gagah, orang tua yang berada dan suportif, di negara maju, di kota besar, dan lain-lain itu semua adalah given,  nasib, bukan kerja keras. Luck yang jenis terakhir ini adalah luck  yang sticky alias “melekat”, sering tidak kita sadari atau terlupakan, dan susah untuk di”realokasi”kan lagi pada yang lain. Kalau Raisa kehilangan dompet lagi, masih ada harapan seseorang yang berbeda untuk menemukan dompet itu.

Jika kita menerima bahwa bahwa nasib atau luck lebih berperan dalam keberhasilan kita, bahwa kerja keras berperan tidak sebesar yang kita bayangkan, so what? Bukan, bukan berarti kita harus mengurangi kerja keras. Tetapi, mudah-mudahan kita ingat sisi lain dari keberuntungan kita, yaitu ketidakberuntungan atau bahkan “kesialan” orang lain. Jika kita beruntung menemukan dompet Raisa, seseorang lain tidak beruntung karena tidak menemukan dompet Raisa, bahkan seseorang lain barangkali sial kehilangan dompetnya sendiri. Jika kita beruntung duduk di sebelah CEO Bank Mandiri, seseorang lain sial pesawatnya delay dan gagal interview.

Jika kita beruntung terlahir atau tumbuh di New York atau Jakarta dengan akses pada sumber informasi, sarana pendidikan, pergaulan sosial, seseorang lain “tidak beruntung” lahir di pedalaman pulau Timor. Jika seseorang beruntung lahir tampan rupawan atau cantik jelita, seseorang yang lain “sial” lahir dengan muka pas-pasan (termasuk saya!). Jika kita  beruntung tumbuh dengan orang tua yang suportif, seseoorang lain mungkin “sial” tumbuh tanpa orang tua. Jika seseorang beruntung lahir dengan IQ yang tinggi personality yang positif, yang lain lahir dengan IQ pas-pasan dan personality penuh tantangan.

Sisi Lain Dari Keberuntungan Kita

Dibalik keberuntungan kita ada ketidakberuntungan dan kesialan orang lain, setidak-tidaknya dalam arti relatif. Tentu, kita bukanlah penyebab kesialan orang lain. Keberuntungan dan kesialan adalah sesuatu yang random, barangkali sekedar kehendak Tuhan.

Tak salah, jika seseorang mengatakan, secara hakikat manusia itu harus berbagi, karena sebagian rejeki yang diperoleh adalah luck, atau dilimpahkan oleh Tuhan begitu saja tanpa kita berusaha apa-apa. Dan, jangan-jangan sebagian rejeki itu ‘tadinya’ diperuntukkan buat yang lain, yang bekerja keras namun tertimpa kesialan.

Namun jangan lupa, untuk bisa kecipratan keberuntungan dan mampu berbagi, kita harus bekerja keras. No question about it.

BACA JUGA

 

 

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY