B

eberapa tahun yang lalu saya berkunjung ke sebuah desa di pulau Solor, kira-kira satu jam perjalanan dengan perahu motor dari Larantuka, dan dilanjutkan dengan perjalanan darat menggunakan ojeg. Begitu sampai di desa tujuan, hal yang pertama disampaikan bapak kepala desa adalah tentang bagaimana tantangan yang mereka hadapai, alam yang kering kerontang, tanah yang berbatu, hujan yang jarang turun, cuaca yang panas dan gersang. Sepertinya sebuah kehidupan yang cukup keras.

Namun, dikelilingi laut yang indah, langit biru cerah, pantai yang spektakuler, padang rumput sabana yang eksotik, ini sebetulnya adalah negeri yang indah. Apalagi berbincang-bincang di bawah teduhnya pohon flamboyan ketika bunga-bunganya merah bermekaran, di antara gadis desa jelita berbalut tenunan Pulau Solor yang cantik.

Tentu, tidak ada maksud meremehkan keluhan dan tantangan yang dihadapi warga desa. Tapi, pertanyaannya, jika iklim dan bentang alam sedemikian menantangnya, kenapa gerangan dahulu kala nenek moyang mereka memilih berdiam di pulau ini? Dan mereka bertahan ratusan atau mungkin ribuan tahun. Barangkali ada kearifan lokal leluhur yang perlu digali dan dirangkul kembali. Misalnya, ternyata dulu sumber pangan pokok masyarakat di sana adalah sorgum, yang memang tumbuh baik di iklim kering.

See the source imageDalam beberapa tahun terakhir, Yayasan KEHATI bersama mitra lokal, seperti Yaspensel dan jaringan gereja Katolik, melaksanakan program revitalisasi sorgum di  Flores dan  sekitarnya. Di ekosistem kering di Flores Timur, kami memperkenalkan kembali  kearifan lokal yang telah lama ditinggalkan masyarakat setempat, yaitu sorgum.

Hari ini, ribuan hektar ladang sorgum telah tumbuh kembali mekar bertebaran di berbagai penjuru Flores dan beberapa pulau sekitar seperti Adonara, Lembata, dan Solor. Masyarakat kembali berlomba-lomba menanam sorgum, mereka kembali mengkonsumsi sorgum, mereka kembali belajar mengolah sorgum.

Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan juga menggembirakan, dari pemerintah kabupaten, Kementerian Pertanian, selain jaringan gereja tentunya. Benih-benih sorgum ditelusuri dan dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas. Mesin dan alat bantu disebarluaskan untuk pengolahan pasca panen.

Berbagai inisiatif terus dilakukan agar sorgum menjadi bagian penting dari konsumsi pangan masyarakat. Pengolahan sorgum menjadi berbagai variasi produk konsumsi juga terus dieksplorasi. Penyediaan produk olahan sorgum di sekolah-sekolah dan puskesmas, misalnya, menjadi bagian strategi untuk mengenalkan sorgum sebagai sumber pangan sedini mungkin pada generasi mendatang, selain untuk meningkatkan asupan gizi tentunya.

Tentu, masih panjang perjalanan ke depan.  Namun, setidaknya program ini telah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi ketahanan pangan masyarakat setempat, dan mulai berperan pada peningkatan pendapatan petani.

Program revitalisasi sorgum yang dilaksanakan di Flores ini, merupakan peran yang coba dimainkan KEHATI dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Inisiatif ini juga sejalan dengan misi KEHATI untuk mengarusutamakan pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara adil dan berkelanjutan.

Keanekaragaman, keberagaman adalah sebuah keniscayaan, naturally given. Eksistensi umat manusia ditopang oleh keseimbangan alam yang berbasis pada keanekaragaman hayati. Namun, keberagaman sering terpinggirkan oleh  keseragaman, karena keseragaman seringkali memberikan ilusi akan kemudahan-kemudahan.

Oleh karena itu, memahami dan mengapresiasi keberadaan dan nilai keanekaragaman hayati  merupakan hal yang sangat kritikal. Seringkali menggali dan merangkul kearifan lokal menjadi pembuka jalan untuk memahami dan mengapresiasi keanekaragaman hayati tersebut, termasuk dalam membangun ketahanan pangan.

Pola konsumsi pangan pokok indonesia di masa lalu penuh keberagaman, yang berbasis pada kekayaan keanekaragaman hayati lokal, seperti beras, sagu, jagung, sorgum, ubi, dan lain sebagainya. Namun, keberagaman ini telah bertransformasi menjadi keseragaman, yaitu beras. Ketergantungan pada satu sumber pangan saja tentu secara otomatis akan menimbulkan risiko konsentrasi, dan membuat kita tersandera. Tidak heran kita menjadi terbiasa ricuh dan gaduh karena beras.

Wheat Field, Wheat, Cereals, Grain, Cornfield, SunsetDalam dua dekade terakhir, sepertinya kita menyadari ketergantungan yang berlebihan pada beras. Konsumsi beras sudah tidak meningkat lagi bahkan cenderung turun, walau hanya secara marjinal. Laporan BPS tahun 2018 menyatakan konsumsi beras per kapita Indonesia pada tahun 2017 turun menjadi 111.6 kilogram, turun dibanding tahun-tahun sebelumnya yang berkisar di angka 114 kilogram.  Sayangnya konsumsi sumber pangan lokal lainnya, seperti sagu, ubi, jagung, dan lain-lain tetap terus menurun. Lalu, sumber pangan apa yang meningkat? Jawabannya adalah gandum.

Konsumsi gandum tumbuh luar biasa pesatnya. Mie dan roti, misalnya, tidak dapat disangkal lagi telah menjadi makanan pokok keseharian bangsa indonesia. Mengutip laporan BPS pada tahun yang sama, total impor gandum Indonesia pada tahun 2017 mencapai 11.4 juta ton, atau naik lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2010 yang baru 4.8 ton.  Sebagai perbandingan, konsumsi beras Indonesia pada tahun 2017 adalah sekitar 29.1 ton.

Permasalahannya, gandum sepenuhnya diimpor dan kita tidak memiliki kendali yang banyak terkait ketersediaan dan stabilitas pasokan maupun harganya. Selain itu, karena skala impor yang semakin menggelembung, gandum juga menjadi salah satu kontributor besar pada defisit neraca perdagangan Indonesia.

Sejauh ini, mendorong ketahanan pangan dengan mendiversifikasi sumber pangan yang berbasis keanekaragaman hayati lokal ternyata belum menunjukkan kemajuan berarti. Justru, disaat kita masih berjuang agar tidak selalu tersandera oleh beras, kita berisiko tersandera pada sumber pangan impor, yaitu gandum.

Sumber pangan yang tidak beragam tidak hanya berarti kita mengabaikan kekayaan keanekaragaman hayati kita sebagai potensi sumber pangan, tetapi juga membuat kita lalai dalam memanfaatkan kekayaan keberagaman bentang alam Indonesia. Hal ini bisa saja mendorong terjadinya pengalihan fungsi lahan atau deforestasi, yang sebetulnya mungkin tidak perlu.

Ekosistem kering di Flores bagian timur dan pulau-pulau sekitarnya bukanlah bentang alam yg tidak bernilai, bukanlah lahan yang tersia-sia, hanya karena tidak produktif untuk ditanami padi. Masyarakat di sana tidak harus menunggu pasokan beras dari daerah lain.  Lahan-lahan baru tidak perlu dibuka untuk pesawahan di Sumatera atau Kalimantan,  untuk memenuhi kebutuhan pangan di Flores. Sorgum, misalnya, bisa dibudidayakan pada lahan-lahan kering di sana.

See the source imageSebab, bentang alam Flores, Solor, Lembata, Adonara, adalah  bagian dari kekayaan bentang alam Indonesia,  yang penuh ragam namun memiliki karakteristik dan nilainya sendiri-sendiri. Keanekaragaman hayati, termasuk keanekaragaman ekosistem, adalah kekayaan bangsa kita, dan seharusnya menjadi modal, termasuk dalam pengembangan ketahanan pangan. Dan jika dimanfaatkan secara optimal, dapat berkontribusi dalam mencegah alih fungsi lahan atau deforestasi.

Mengapresiasi dan mensyukuri keanekaragaman hayati indonesia tidak hanya tentang keberagaman species flora dan fauna, tetapi juga mengenai keanekaragaman ekosistem Indonesia, yang merangkai mozaik indah bentang alam Nusantara.

-- artikel ini telah dimuat sebelumnya di TEMPO

* BACA JUGA:

— Menguras Natural Capital: Ekonomi Siapa Yang Kita Perjuangkan?

— Bakar-bakar Uang Ala Perusahaan Teknologi

— Ke(tidak)sempurnaan Seorang Pemimpin

— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi

 — Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mata Uang Dalam Jangka Menengah 

— Louis Vuitton dan Hermes Hanya Jual Merek?

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


LEAVE A REPLY