Dalam sebuah grup WA (whats app) berapa teman saya tak habis pikir dengan kenaikan harga properti, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, yang kagak ade matinye, kata mereka, terutama dalam periode awal 2010-an hingga tahun 2014. Harga tanah, rumah, atau apartemen melonjak hingga 3-4 kali lipat dalam beberapa tahun saja seperti di kawasan favorit di Jakarta Selatan atau di kawasan pengembangan kota baru tertentu. Sementara mereka dihadapkan pada ‘fakta’ lain, yaitu angka inflasi yang cukup terkendali, tidak jauh dari kisaran 5% per tahun.

 

Salah satu hal dasar dalam perencanaan keuangan adalah bagaimana meningkatkan dan menjaga daya beli kita. Dan daya beli kita tentu dipengaruhi oleh kenaikan harga-haga barang, karena kenaikan harga barang sama saja artinya dengan penyusutan nilai riil dari uang. Jika kenaikan harga barang-barang yang kita perlukan lebih besar dari kenaikan pendapatan kita, tentu daya beli kita akan berkurang. Dan, biasanya kita berpatokan pada angka inflasi dalam memperkirakan kenaikan harga-harga.

Namun, ketika angka inflasi rata-rata hanya di kisaran 5%, kenapa harga properti bisa naik puluhan persen? Akurat dan bisa dipercaya tidak angka inflasi tersebut? Lalu, bagaimana dengan rencana keuangan yang jadi berantakan, bisa mengatasi inflasi tapi tetap daya beli untuk memiliki rumah merosot.

” perlu kita pahami, harga apa yang diukur dalam inflasi”

Kita semua tahu, inflasi mengukur kenaikan harga-harga secara menyeluruh. Cuman perlu kita pahami, harga apa dulu yang diukur dalam inflasi ini. Mungkin sebagian sahabat pembaca memahami dengan cukup jelas mengenai inflasi, tapi sebagian lagi — seperti beberapa teman saya di grup WA tersebut — kurang memahaminya.

Inflasi tahunan Indonesia dalam 10 tahun terakhir, rata-rata pada kisaran 5%-6%

Inflasi secara resmi dinamakan IHK (Indeks Harga Konsumen) atau lebih populer dalam istilah bahasa Inggrisnya CPI (Consumer Price Index). Seperti terbaca pada istilahnya, ini mengukur kenaikan harga-harga yang dialami oleh konsumen. Harga dari apa? Tentu harga dari barang-barang atau jasa yang dikonsumsi. Sekarang, saya rasa sebagian dari Anda mungkin mulai manggut-manggut…kata kuncinya adalah: konsumen dan konsumsi.

Barang konsumsi adalah barang-barang yang nilainya atau utilitasnya bisa anda nikmati segera dan tidak bertahan lama. Dengan kata lain, yaitu barang yang kita pakai sehari-hari atau jasa yang kita nikmati sehari-hari. Misalnya, makanan atau minuman, pakaian, atau juga jasa seperti biaya listrik, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Singkatnya, inflasi atau IHK ini mengukur perubahan biaya hidup masyarakat (cost of living).

Secara teknis, BPS (Biro Pusat Statistik) mengukur ratusan jenis barang dan jasa di puluhan kota seluruh Indonesia. Semua jenis barang dan jasa ini kemudian dikelompokkan menjadi 7 kategori, sebagai berikut:

(1) bahan makanan,

(2) makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau,

(3) perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar

(4) sandang,

(5) kesehatan,

(6) pendidikan, rekreasi, dan olahraga,

(7) transpor, komunikasi, dan jasa keuangan.

Di sini jelas, bahwa harga properti seperti rumah atau tanah tidak diukur dan dimasukkan dalam penghitungan inflasi atau IHK. Akan tetapi, dalam kategori no. (3) di atas Anda bisa lihat ada komponen perumahan, air, listrik, dan lain-lain. Inflasi atau IHK mengukur perubahan harga barang dan jasa yang kita konsumsi berkaitan dengan kebutuhan kita untuk tempat tinggal. Ini termasuk sewa rumah, tarif listrik, tarif air, tarif gas, dan lain-lain.

Sebuah artikel pada tahun 2014 ketika puncak booming properti di Jakarta, tentang harga tanah yang melejit tak terkira.

Lalu, kenapa harga rumah tidak dimasukkan dalam perhitungan inflasi? Seperti definisi inflasi atau IHK tadi, rumah bukanlah sebuah barang yang kita konsumsi sekarang dan utilitasnya segera habis. Rumah adalah sebuah barang yang bertahan lama (durable goods), yang bisa kita “konsumsi” hingga puluhan tahun ke depan. Harga yang kita bayar hari ini untuk sebuah rumah tidak merefleksikan biaya yang kita keluarkan untuk “mengkonsumsi” rumah tersebut saat ini.

Oleh karena itu, sewa rumah dapat dianggap sebagai estimasi atau proxy dari biaya mengkonsumsi rumah sebagai tempat tinggal saat ini. Di banyak negara, di AS misalnya, selain sewa rumah, juga dimasukkan komponen yang dinamakan Owners‘ equivalent rent (OER). Yaitu, jika pemilik rumah saat ini, seandainya, ingin menyewakan rumahnya, berapa harga sewa rumah yang mereka inginkan.

Ingin saya tekankan lagi, inflasi atau IHK mengukur perubahan harga barang dan jasa yang kita konsumsi, bukan  mengukur perubahan harga aset. Harga aset seperti rumah, atau aset keuangan seperti saham diukur secara terpisah, dan memberikan informasi yang berbeda.

Mungkin Anda pernah mendengar bahwa inflasi naik karena kenaikan harga perhiasan emas. Lho, bukankah emas itu sebuah aset? Harga emas yang diukur dalam inflasi atau IHK di sini adalah emas sebagai perhiasan, sebuah kebutuhan sekunder atau tersier, serupa halnya ketika kita membeli pakaian atau aksesoris. Jadi, masuk dalam kategori #4 dari daftar di atas.

Harga perhiasan emas, termasuk dalam perhitungan inflasi, bagian dari aksesoris dalam kategori sandang.

Jadi, apa sebetulnya angka inflasi sebetulnya bukan merupakan acuan yang baik dalam merencanakan keuangan kita? Tidak begitu juga. Inflasi adalah indikator yang sangat berguna dalam memperkirakan kenaikan biaya hidup. Bahkan, harga atau biaya menggunakan rumah pun telah dimasukkan dengan menggunakan harga sewa rumah atau OER sebagai proxy. Tapi memang perubahan harga properti dapat berbeda dibandingkan tingkat inflasi dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, terutama untuk negara seperti Indonesia, harga properti akan bergerak seiring dengan perubahan inflasi. Walau tingkat kenaikan harga properti kemungkinan lebih besar dari inflasi, selama pertumbuhan penduduk dan rumah tangga masih positif, tentunya.

Poinnya, dalam merencanakan hidup dan sumber daya keuangan yang dibutuhkan, kita perlu memahami inflasi personal kita, yang dapat saja sangat berbeda dengan inflasi nasional. Misalnya, jika kita merencanakan untuk menyekolahkan anak di luar negeri, tentu angka inflasi personal kita akan berbeda, karena angka inflasi atau IHK yang dirilis BPS hanya mengukur harga-harga di Indonesia. Dan kita mungkin dapat memasukkan rencana dan kewajiban keuangan lain di masa yang akan datang dalam rencana keuangan, seperti rencana pembelian properti.

Talam tulisan berikut, saya membahas lebih jauh tentang inflasi yang diukur oleh BPS dan memahami perbedaannya dengan inflasi personal kita.

 

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY