Jika Anda memutuskan untuk mendirikan perusahaan, sebuah start up,  bagaimana anda akan mendanai perusahaan tersebut? Barangkali Anda memulai dengan modal sendiri. Bagaimana jika uang Anda tidak mencukupi, atau katakan usaha Anda sudah lumayan berkembang dan membutuhkan modal tambahan? Anda mungkin memikirkan alternatif-alternatif permodalan atau pendanaan untuk perusahaan Anda.

Yang pertama, tentu saja Anda mencoba menengok-nengok lagi kantong celana dan rekening bank apakah ada sumber pribadi Anda untuk menambah modal. Kalau tidak Anda mungkin mencoba meminjam duit dari teman atau kerabat. Bisa juga mengajak mereka sebagai mitra sebagai pemegang saham, lumayan Anda tidak perlu bayar bunga, tapi tentu perusahaan tidak semata-mata milik Anda lagi. Atau, bisa jadi ada yang mau jadi mitra sebagai pemegang saham, cuman minta preferensi atau keistimewaan, misalnya ingin jumlah yang pasti dalam hal pembagian laba.

Biaya saham bisa jadi lebih besar bagi perusahaan, Anda harus berbagi laba, dan akan berbagi hak dalam mengurus dan membuat keputusan.

Jadi, Anda memiliki pilihan dalam merancang ‘struktur modal’ perusahaan Anda, dengan menimbang-nimbang kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jika Anda memilih untuk meminjam uang, Anda akan terbebani oleh hutang. Hutang tidak gratis, ada biayanya yaitu bunga yang harus dibayar, dan bisa jadi ada persyaratan lain yang diminta. Jika, memutuskan mengajak mitra baru sebagai pemegang saham, meskipun tidak ada biaya bunga, itu bukan berarti tak ada biayanya. Biayanya bisa jadi lebih besar, Anda harus berbagi laba, dan akan berbagi hak dalam mengurus dan membuat keputusan.

Merancang struktur modal (capital structure) adalah hal yang sangat kritikal dalam pengelolaan perusahaan. Seorang rekan CFO pernah setengah bercanda mengatakan mengelola permodalan merupakan separuh dari urusan mengelola perusahaan. Seperti kita ketahui, “potret” perusahaan yang dilaporkan dalam Neraca terdiri dari dua sisi. Satu sisi adalah semua harta yang dimiliki oleh perusahaan (atau Aset), sisi lain adalah bagaimana perusahaan mendanai harta tersebut (Kewajiban/Hutang & Modal Sendiri/Ekuitas). Jadi menganalisa atau merancang struktur modal, tak ubahnya merancang separuh dari Neraca Perusahaan.

Biaya Hutang dan Biaya Saham

Merancang struktur modal mengacu pada seberapa banyak permodalan atau pendanaan yang berasal dari hutang dan/atau modal sendiri/ekuitas (dengan menerbitkan saham baru). Hutang dan ekuitas mempunyai karakteristik dan biayanya sendiri-sendiri.

biaya ekuitas (cost of equity) adalah jumlah laba yang harus dibagi dengan pemegang saham baru, relatif terhadap harga yang dibayar oleh pemegang saham baru tersebut untuk setiap sahamnya

Secara finansial, biaya hutang (cost of debt) adalah tingkat suku bunga yang dibayar, sedangkan biaya ekuitas (cost of equity) adalah jumlah laba yang harus dibagi dengan pemegang saham baru, relatif terhadap harga yang dibayar oleh pemegang saham baru tersebut untuk setiap sahamnya. Bahasa teknisnya, penerbitan saham baru dianggap ‘mendilusi’ kepemilikan dan tentunya hak memperoleh laba pemegang saham sekarang. Biaya saham ini dapat dihitung dan diestimasi dengan melihat bagaimana pasar saham menilai saham-saham secara keseluruhan.

Yang jelas, biaya saham pasti/harus lebih mahal dari biaya hutang. Karena penyertaan saham menanggung risiko lebih tinggi, karena belum tentu perusahaan dapat menghasilkan laba setinggi yang diharapkan, atau malah bisa menderita kerugian. Bahkan  ketika perusahaan mengalami kebangkrutan dab perusahaan dilikuidasi (dijual aset-asetnya), pemegang saham bisa jadi kehilangan semua investasinya, kecuali ada sisa-sisa dana membayar kewajiban pada berbagai pihak termasuk kreditur (pemberi hutang).

Sementara bagi kreditur, naik turun laba tidak mempengaruhi jumlah bunga yang mereka terima, walau jika perusahaan dalam mengalami kesulitan keuangan, bisa jadi bunganya tidak terbayar atau bahkan pokoknya tidak terbayar sepenuhnya. Jika perusahaan mengalami kebangkrutan, kreditur masih memiliki harapan untuk mengharapkan sebagian modalnya balik. Hasil likuidasi/penjualan aset-aset perusahaan akan  digunakakan sebisa mungkin untuk membayar hutang pada kreditur.

Jadi, dari perspektif pemilik perusahaan, hutang lebih murah, menawarkan saham lebih mahal. Akan tetapi, perusahaan tidak bisa mengandalkan permodalan hanya dari hutang. Karena jika jumlah hutang meningkat maka risiko perusahaan akan meningkat, karena beban pembayaran bunga yang tidak bisa ditawar semakin besar jumlahnya. Sangat berisiko, ketika kinerja dan laba perusahaan tidak sesuai yang diharapkan. Sebaliknya, porsi ekuitas yang terlalu besar dan hutang yang sedikit juga tidak sehat bagi perusahaan, karena tidak efisien, saham itu mahal bagi perusahaan, akibatnya jatah laba masing-masing pemegang saham akan terbatas. Selain itu, tentu, pemegang saham lama akan berbagi hak dalam mengambil keputusan dengan pemegang saham baru.

“Oleh karena itu ada struktur permodalan yang optimal, yaitu titik keseimbangan antara biaya modal di satu sisi, dan risiko terhadap bisnis dan operasional perusahaan di sisi yang lain.”

Berbagai Macam Variasi dalam Struktur Permodalan

Dalam dunia keuangan, pilihan bagi perusahaan tidak hanya hutang di satu sisi dan ekuitas di sisi lain. Ada beberapa pilihan di antara dua titik ekstrimnya. Misalnya, kalau ekuitas/saham terlalu mahal bagi perusahaan, ada yang namanya saham preferens. Saham Preferens adalah saham istimewa dimana pemegangnya mendapat kepastian mengenai berapa jumlah dividen (bagian laba) yang akan diterima. Jadi lebih rendah risiko bagi pemegangnya, dan bagi perusahaan biayanya tidak semahal saham biasa. Tapi tentu, dibandingkan kreditur (pemberi hutang) risikonya tetapi lebih tinggi. Pemegang saham preferens ini baru menerima dividen jika semua kreditur telah menerima haknya seperti bunga. Sama halnya, jika perusahaan bangkrut, pemegang saham preferens hanya akan mendapat bagian dari aset yang dilikuidasi jika semua kreditur telah mendapatkan haknya.

Demikian juga di sisi lain, jika hutang murah bagi perusahaan, tapi tidak terlalu menarik bagi pemberi hutang, maka ada yang namanya hutang subordinasi. Hutang Subordinasi memberikan tingkat suku bunga lebih tinggi bagi kreditur, akan tetapi haknya sedikit di bawah kreditur hutang biasa (hutang senior). Artinya, mereka baru menerima bunga dan lain-lain jika kreditur hutang senior sudah menerima semua haknya. Namun, hak kreditur hutang subordinasi tentu lebih tinggi dari pemegang saham apa pun.

Nah, persis “ditengah-tengah” ada instrumen keuangan yang merupakan perkawinan/Hybrid antara ekuitas dan hutang. Sebagai contoh adalah hutang yang bisa dkonversikan menjadi saham atau Convertible Bond.

Sources: Axial.net

Skema di atas memberikan ringkasan mengenai pilihan struktur modal bagi perusahaan. Dimulai dari Hutang (senior), risikonya paling rendah bagi penyedia dananya/kreditur, biayanya paling murah bagi perusahaan, dan memiliki hak klaim paling tinggi. Dan paling bawah Ekuitas/Saham (biasa), risiko paling tinggi pagi penyedia dananya, namun biaya paling murah bagi perusahaan, dan memiliki hak klaim paling rendah.

Pasar modal yang cukup maju biasanya menyediakan tempat bagi perusahaan dan pemodal untuk bertemu untuk bernegosiasi mengenai berbagai macam permodalan yang dibutuhkan perusahaan dan dapat disediakan pemodal/investor.

Namun, perlu diketahui, tahap perkembangan perusahaan juga menentukan, atau membatasi, kemampuan perusahaan dalam mengatur setting permodalannya. Perusahaan rintisan, misalnya, yang belum mampu menghasilkan arus kas, tentu tidak akan bisa memperoleh pendanaan hutang konvensional, dengan membayar bunga dan atu cicilan secara reguler.

BACA JUGA

Salam, Riki Frindos – www.FrindosOnFinance.com


 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY