S

epak terjang perusahaan teknologi digital, terutama yang bergerak di bidang e-niaga dan transportasi online telah merombak tatanan bisnis di tanah air. Inovasi digital tidak hanya menghadirkan kepraktisan dan kenyamanan bagi konsumen tetapi juga disertai dengan turunnya harga yang harus dibayar. Masyarakat juga dapat berpartisipasi sebagai mitra dalam platform yang mereka kembangkan. Sementara, perusahaan-perusahaan teknologi baru ini nilainya terus melesat dalam waktu singkat, mencapai puluhan triliunan. Everybody seems happy!

“Bakar-bakar” Uang 

Namun, ironisnya perusahaan-perusahaan teknologi ini tak kunjung mencatat keuntungan, dan masih dikucuri dana tak henti-hentinya oleh pemodal, yang memunculkan istilah  “bakar-bakar uang” karena begitu agresifnya para pemodal dalam mengalokasikan dananya.

Investasi besar dan kerugian bukanlah sesuatu yang aneh bagi perusahaan baru, entah karena volume bisnis yang belum mencapai skala ekonomis atau memang  bagian dari strategi pemasaran perusahaan dengan sengaja menjual produk baru di bawah nilai ekonomisnya, atau bahkan membagikannya secara gratis. Tujuannya tentu untuk memperkenalkan produk. Kerugian yang terjadi dapat dianggap sebagai biaya promosi.

Namun, strategi jual murah oleh perusahaan teknologi  dewasa ini tidak tanggung-tanggung. Perusahaan seperti Gojek, Grab, dan Uber, misalnya,  telah “membakar” puluhan triliun  rupiah selama bertahun-tahun. Sebagai contoh, Gojek telah memperoleh  US$1.75 miliar dana dari berbagai pemodal, dan itu belum termasuk yang tidak dipublikasikan. Grab, yang bermain di kawasan Asia Tenggara telah menerima US$3.44 miliar, dan Uber sebagai pemain global telah mendapatkan US$11.6 miliar pendanaan.

Karakteristik bisnis digital yang tidak mengenal jarak geografis dan batas negara, serta kemampuan teknologi untuk mengakuisisi pelanggan dalam waktu cepat, memungkinkan perusahaan teknologi untuk membangun skala bisnis yang sangat besar, dibandingkan perusahaan konvensional.

Anda ingat forum “Sahabat Pena” di masa yang lampau? Berapa banyak forum Sahabat Pena di seluruh penjuru Indonesia, atau bahkan dunia, dan jangkauannya pun masih sangat terbatas. Saat ini mungkin cukup dengan satu Facebook saja, yang telah memiliki lebih dari dua miliar pengguna aktif, dan dengan gampang mengakomodasi jutaan pengguna baru dalam waktu singkat. Juga, berapa banyak buku “Yellow Pages” dan sejenisnya di seluruh dunia di masa lalu, dengan jangkauan dan database yang terbatas. Saat ini cukup satu Google saja.

Dalam kata lain, perusahaan teknologi bertarung dalam skala ekonomi yang jauh lebih besar, dan tentu lebih capital intensive. Oleh karena itu, mereka berlomba-lomba membangun bisnis secepat mungkin, sebesar mungkin.

Pertanyaannya, sampai kapan pertarungan antar perusahaan teknologi ini berakhir? Apakah harga yang dibayar oleh konsumen saat ini riil? Dan, pada akhirnya siapa yang akan menjadi pemenang, konsumen atau korporasi?

Siapa yang Akan Menjadi Pemenang?

Dalam jangka pendek, pemenang terbesar adalah: konsumen. Semua kenyamanan inovasi teknologi ini kita bayar dengan harga lebih murah, atau bahkan gratis sama sekali.

Pemenang lain adalah ekosistem yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan teknologi. Perusahaan e-niaga telah memungkinkan ratusan ribu orang yang untuk menjadi pebisnis dengan bergabung dengan platform e-niaga sebagai pemilik toko online. Pemilik kendaraan dengan lebih mudah dapat menawarkan jasa transportasi, yang selama ini terbatas pada perusahaan taksi konvensional.

Lalu siapakah pecundang dalam pertarungan ini? Mungkin sebagian besar akan menunjuk pada pemain lama di sektor yang “diganggu” oleh perusahaan teknologi, seperti perusahaan taksi konvensional atau pusat perbelanjaan. Tetapi, secara finansial, bisa jadi pecundang terbesar adalah perusahaan teknologi itu sendiri, karena investasi yang sangat besar alias  “bakar-bakar uang” tadi. 

Dapat disimpulkan dalam jangka pendek, telah terjadi “transfer” dari korporasi, baik perusahaan lama maupun perusahaan baru yang berbasis teknologi,  pada konsumen. Transfer atau nilai tambah ini dapat berbentuk finansial, yaitu berkurangnya biaya yang kita keluarkan untuk membayar satu unit jasa atau barang yang sama, dan/atau dalam bentuk peningkatan produktivitas dan kepuasan konsumen.

Dalam Jangka Panjang

Apa yang terjadi dalam jangka pendek ini tentu tidak dapat berlangsung selamanya, korporasi dapat bertahan jika memberikan keuntungan pada pemegang sahamnya. Dalam jangka panjang, satu atau sedikit dari perusahaan-perusahaan teknologi ini akan menjadi pemenang. Mereka yang membawa inovasi terbaik dengan modal yang kuat akan menang. Sisanya cukup berebut remah-remah atau harus melempar handuk putih.

Facebook, misalnya, akhirnya menjadi pemenang, Friendster dan Myspace harus gigit jari dan merelakan investasi besar-besaran mereka. Google menguasai mesin pencari internet. Yahoo walau masih bertahan memiliki pangsa pasar yang sangat kecil dan terus menerus didera persoalan finansial. Beberapa nama seperti Altavista atau Lycos sudah tidak terdengar lagi.

Hanya sedikit dari Lazada, Tokopedia, Blibli, Bukalapak, Elevenia, MatahariMall, Blanja, OLX, dan lain-lain yang akan menjadi pemenang, besar,  atau profitable, sisanya  harus berebut sisa-sisa atau gulung tikar. Demikian juga pemain lama yang tidak menyesuaikan model bisnisnya.

Lalu bagaimana dengan konsumen, apakah kita masih bisa menikmati semua manfaat yang sekarang kita dapatkan dari inovasi dan kucuran modal perusahaan teknologi? Jawabannya, iya dan tidak.  Dalam jangka pendek perusahaan-perusahaan harus bertarung satu sama lain untuk memperebutkan konsumen, pricing power berada di tangan konsumen. Ketika pertarungan usai, pricing power akan bergeser ke tangan korporasi.

Harga Riil yang Akhirnya Dibayar Konsumen

Pada akhirnya harga riil yang  dibayar konsumen akan  cenderung naik untuk merefleksikan pricing yang lebih rasional, meskipun tumbuhnya skala ekonomis dari perusahaan akan membatasi kenaikan harga riil. Tapi, bisa jadi harga nominal tidak berubah, konsumen membayarnya dalam bentuk lain. Akses mesin pencari Google hingga hari ini masih tetap gratis, dan pada saat yang sama laba perusahaan Google terus meningkat. Kok bisa? Karena konsumen membayarnya dengan cara lain.

Pelanggan di era perusahaan teknologi ini tidak lagi hanya sekedar pembeli, tetapi juga ‘komoditas’ yang dapat dieksploitasi dan dimonetisasi oleh perusahaan. Google mengundang kita secara gratis utuk menggunakan mesin pencari mereka, Facebook mengundang kita secara gratis melampiaskan hasrat kita bersosialisasi.  Mereka kemudian menjual keberadaan, data, aktivitas, dan perilaku kita kepada pengiklan.

Seperti kita tahu, masalah terbesar dalam periklanan adalah waste, yaitu pesan iklan ditujukan pada audience yang tidak berpotensi menjadi pembeli. Untuk meminimalisasi waste, pengiklan harus mentargetkan promosi mereka pada konsumer dengan karakteristik demografis, minat, dan perilaku tertentu. Facebook dan Google memiliki semuanya.

Perusahaan teknologi dalam hal ini menciptakan nilai ekonomi dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Walaupun nilai ekonomi baru ini diciptakan oleh inovasi perusahaan teknologi, bukan berarti kita sebagai pelanggan tidak berkontribusi untuk itu.

Ini mirip dengan perusahaan telekomunikasi yang menggunakan rumah masyarakat sebagai ‘kanvas’ iklan mereka. Sebelumnya, secara finansial dinding rumah tersebut tidak menghasilkan apa-apa bagi pemilik rumah. Tetapi, kompensasi yang diterima pemilik rumah bukan muncul dari langit. Ada harga yang dibayar, entah dari sisi estetika, kenyamanan dan privasi, ketika setiap orang yang lewat melongok ke rumah mereka.

Pertanyaan yang sulit dijawab adalah, berapa harga yang harus dibayar perusahaan teknologi ketika mereka menggunakan data kita untuk kepentingan bisnis mereka, apakah cukup dengan memberikan akses gratis bagi kita dalam melakukan pencarian informasi atau dalam rangka menyalurkan bakat narsis kita di media sosial.

Pada akhirnya, seberapa fair harga yang dibayar konsumen, baik secara finansial mau pun non finansial, tergantung dari posisi tawar menawar dengan korporasi, dan dinamika persaingan antar korporasi. Ada kekhawatiran, seperti di Uni Eropa, bahwa perusahaan teknologi pemenang memiliki kekuatan yang terlalu besar. Namun, jangan terlalu khawatir, teknologi terus berkembang, enterpreneur dan pemodal akan terus bertarung. 

BACA JUGA

— Reliance Jio, Gojek, dan Meikarta

Black Monday: Tatkala Awan Hitam Menyelimuti Bursa

— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi

Utang, Penemuan Luar Biasa dalam Peradaban Manusia

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY