Siapa yang tidak tahu Gojek dengan segala sepak terjangnya, dan juga siapa di Jakarta ini yang tidak mendengar tentang Meikarta, yang menjadi topik trending dimana-mana dengan segala kontroversinya. Tapi, mungkin banyak yang belum tahu tentang Reliance Jio. Saya juga baru mendengar tentang Reliance Jio dan gebrakannya dari teman-teman saya yang kebetulan memang banyak berkecimpung di dunia teknonologi, IT, dan telekomunikasi.

Reliance Jio adalah perusahaan operator telekomunikasi, pendatang baru di industri telekomunikasi seluler di India yang tepat berumur satu tahun bulan September lalu. Seperti terungkap dari namanya, Reliance Jio adalah bagian dari Reliance Industries, yang dimiliki oleh orang terkaya no.2 di Asia setelah Jack Ma, yaitu Mukesh Ambani.

Reliance Jio: Jual Murah

Sebagai pendatang baru, Reliance Jio tidak terbebani oleh warisan infrastuktur dan teknologi lama. Reliance Jio beroperasi dan hanya menawarkan teknologi 4G, yang di Indonesia baru dinikmati warga Jakarta dan sebagian kota-kota besar lainnya.

Reliance Jio membawa gelombang dahsyat ke industri telekomunikasi India. Kurang dari 6 bulan sejak diluncurkan pada September 2016, Reliance Jio telah berhasil menggaet lebih dari 100 juta orang pelanggan! Saat ini dengan 130 juta pelanggan, dari semua operator telekomunikasi di Indonesia, hanya Telkomsel yang memiliki pelanggan lebih besar dari Reliance Jio.

meikarta

Kehadiran Reliance Jio dalam satu tahun ini juga telah merubah industri telekomunikasi di India secara dramatis. Jumlah telepon seluler pintar (smartphone) berteknologi 4G naik 3 kali lipat dari 47 juta menjadi 131 juta. Bahkan hampir semua, sekitar 95%, dari penjualan telepon seluler di India saat ini berteknologi 4G.

Konsumsi data juga meningkat lebih dari 7 kali lipat, dari 200 juta GB menjadi 1.5 miiar GB. Dan, ini sejalan dengan anjloknya harga yang dibayar konsumen. Harga data per GB yang setahun lalu masih sekitar Rp50 ribu per GB, saat ini hanya Rp10 ribu per GB.

Jadi, meningkatnya kualitas dan kuantitas jasa telekomunikasi yang dinikmati pelanggan dibarengi dengan turunnya pengeluaran. Rata-rata pengeluaran pelanggan telekomunikasi seluler di India turun hingga 25% per bulannya.

Apa yang Reliance Jio lakukan? Sepertinya strategi dan triknya sederhana saja: jual murah. Ketika diluncurkan secara besar-besaran, Reliance Jio menawarkan gratis unlimited data 4G untuk beberapa bulan, dan kemudian pelanggan ditawarkan paket yang jauh lebih murah dari yang ditawarkan kompetitor. Tidak hanya itu, Reliance Jio juga menawarkan biaya gratis telepon (voice) seumur hidup.

Seperti belum cukup dengan kejutan-kejutannya, Reliance Jio kemudian menawarkan telepon genggam berteknologi 4G gratis buat semua pelanggannya. Satu-satunya syarat untuk mendapatkan telepon gratis tersebut adalah dengan menaruh deposit sebesar Rp3 juta, yang dapat diambil lagi setelah 3 tahun.

Tentu, seperti perusahaan-perusahaan besar dan profesional lainnya, mereka memiliki visi yang cemerlang, strategi yang matang, serta perencanaan dan eksekusi yang luar biasa. Menjadi bagian dari konglomerat terbesar di India, memungkinkan Reliance Jio memiliki kapasitas modal, teknologi, dan operasional yang luar biasa.

Gojek, Grab, Uber, dan “Bakar-bakar Uang”

Anda iri dengan pelanggan telekomunikasi seluler di India? Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau. Tapi, fenomena serupa juga terjadi di Indonesia, misalnya di bidang transportasi. Sepak terjang Gojek, Uber, atau Grab tak kalah dramatisnya, setidak-tidaknya di Jakarta dan di beberapa kota besar lainnya. Dalam waktu singkat para operator transportasi online ini telah meraup jutaan pelanggan.

meikarta

Kemudahan dan kenyamanan mendapatkan jasa transportasi, entah ojek atau taksi, diiringi dengan turunnya biaya yang perlu dibayar. Dengan berbagai promosi dari Gojek, Uber, dan Grab, seringkali kita membayar ongkos ojek atau taksi sepersekian dari yang biasanya kita bayarkan pada taksi konvensional. Malah, tak jarang juga kita menikmati perjalanan gratis.

Apa trik Gojek dan kawan-kawan meraih jutaan pelanggan dalam waktu singkat? Selain memberikan solusi dengan inovasi teknologi, yang mereka lakukan sejauh ini juga tak berbeda dengan yang dilakuan Reliance Jio: jual murah dan barangkali juga jual rugi.

Kerugian bukanlah sesuatu yang aneh bagi perusahaan baru, entah karena volume bisnis yang belum mencapai skala ekonomis atau memang  “jual murah” merupakan bagian terpadu dari strategi pemasaran untuk menggaet pelanggan, katakanlah sebagai biaya promosi.

Namun, strategi jual murah perusahaan teknologi tidak tanggung-tanggung dari sisi skala dan durasinya, yang memicu munculnya istilah “bakar-bakar uang”. Perusahaan seperti Uber, Grab, dan Gojek, misalnya,  telah “membakar” puluhan triliun  rupiah selama bertahun-tahun. Total dana investor yang telah diraup ketiga perusahaan ini sejak mereka berdiri lebih dari Rp200 triliun, dan belum ada indikasi mereka mencatat keuntungan hingga hari ini.

Apa yang mendasar strategi “jual murah”  atau jual rugi perusahaan-perusahaan teknologi ini? Jawabannya: crowd alias keramaian. Dibalik berbagai strategi dan inovasi, fokus dari dari perusahaan teknologi adalah membangun keramaian yang seramai mungkin, dan menjadikannya sebuah komunitas.

Bagi perusahaan teknologi, crowd tidak hanya sebagai pembeli tetapi juga komoditas yang akan dijual. Perusahaan akan mendesain dan mengemas sedemikian rupa keberadaan, data, aktivitas dan perilaku mereka, dan kemudian ‘memonetisasinya’. Ini dapat dilakukan dengan menjualnya kembali pada pelanggan, menggunakannya untuk menciptakan produk baru, atau menjualnya kepada pihak ketiga. Potensi monetisasi akan meningkat secara eksponensial dengan semakin besarnya komunitas yang berhasil dibangun perusahaan.

meikartaPerusahaan teknologi memiliki operational leverage yang besar. Begitu sistem, infrastruktur, dan kapasitas terbangun, crowd dan volume bisnis dapat dibangun dengan cepat. Juga, bisnis teknologi digital hampir tidak mengenal jarak geografis, atau bahkan batas negara. Persaingan dan kesempatan bisa muncul di mana saja, dan pada akhirnya hanya satu atau beberapa perusahaan besar saja yang akan muncul jadi pemenang.

Oleh karena tu, kecepatan dan skala bisnis menjadi sangat kritikal, yang mendorong investor berlomba-lomba “membakar uang”, membangun bisnis teknologi digital secepat mungkin, sebesar mungkin.

Crowd dan Meikarta

Lalu, ada apa dengan Meikarta? Meikarta cukup mencengangkan dengan gebrakannya. Seperti dikutip berbagai media, dalam 9 bulan pertama tahun 2017 saja, biaya iklan Meikarta telah mencapai Rp1.2 triliun! Meikarta juga “menjual murah” produknya. Harga jual apartemen per meter di Meikarta jauh lebih murah daripada harga sebuah rusunami. Meikarta tak ubahnya bak perusahaan teknologi digital, “membakar-bakar uang”…

Nampaknya yang dilakukan Meikarta memang serupa dengan yang dilakukan perusahaan teknologi, menarik dan membangun crowd, keramaian yang seramai mungkin.  Dan, barangkali, pembeli apartemen Meikarta tidak hanya sekedar pembeli bagi grup Lippo, mungkin mereka juga dapat menjadi pembeli untuk produk dan jasa Lippo lainnya di masa yang akan datang ketika mereka semua sudah menjadi  komunitas Meikarta.

Mungkin juga, crowd itu sendiri yang akan dimonetisasi oleh grup Lippo. Harga tanah kosong di kawasan tak berpenghuni dan di kota dengan penduduk ratusan ribu tentu berbeda jauh. Penyedia fasilitas komersial seperti mal, hotel, perkantoran, atau rumah sakit akan berebut datang, termasuk pusat pemerintahan mungkin, who knows. Perijinan mungkin berat untuk tidak turun ketika crowd sudah berkumpul, tidak berbeda dengan yang dilakukan perusahaan transportasi online: build first, negotiate for license later.

Sekitar dua puluh tahun silam, grup Lippo juga gencar mempromosikan dua kota mandiri mereka, yaitu Lippo Karawaci dan Lippo Cikarang.

Strategi grup Lippo waktu itu adalah:  “if you build it they wil come” dan “dimana ada gula di situ ada semut”.  Dengan membangun berbagai macam fasilitas, termasuk mal terbesar di Indonesia, rumah sakit, gedung perkantoran, universitas dan lain-lain, mereka percaya orang akan berbondong-bondong datang.  Fasilitas sosial dan komersial yang lengkap tak ubahnya ibarat gula, yang akan dikerubuti kerumunan semut, yaitu orang-orang yang akan membeli rumah dan bertempat tinggal di sana.

meikartaJadi, urusan crowd bukanlah hal yang baru bagi grup Lippo.  Bedanya, saat ini gula dan semut sepertinya berganti tempat. Dulu, kota mandiri Lippo dimulai dengan gebrakan berbagai fasilitas yang dibangun besar-besaran untuk menarik crowd residensial.  Saat ini Meikarta fokus membangun crowd itu sendiri dengan menjual properti residensial seperti apartemen.

Saat ini, puluhan  ribu orang pembeli sedang menunggu Meikarta men-deliver produknya, dan mungkin juga banyak yang excited atau harap-harap cemas menunggu berbagai fasilitas dan infrasktruktur yang fantastis, termasuk jalan 4 lapis yang sangat ikonik yang akan membelah kota Meikarta, katanya. Mungkin itulah perbedaannya dengan perusahaan transportasi online, yang produk dan jasanya telah dinikmati pelanggan.

BACA JUGA

— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi

Negeri Kita Berdarah-darah Karena Utang?

Mengenal Hedge Fund, Private Equity, dan Venture Capital

 

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

 

1 COMMENT

  1. berbicara soal reliance jio, operator india yang jual murah bahkan bagi2 HP secara gratis

    saya jadi teringat film amerika yang memanfaatkan strategi sama

    dimana ada CEO operator telekomunikasi di amerika sengaja “membakar uangnya” demi menjadikan pengguna HP nya menjadi zombie kapan saja.

    zombie hasil hipnotis aplikasi HP perusahaan telekomunikasi amerika ini nantinya dijadikan tentara untuk menghancurkan kota dan pemerintah,

LEAVE A REPLY