Dalam sebuah ruangan di Jl. Falatehan, Kebayoran Baru, Jakarta, pada  pertengahan tahun 1990-an, trainer  yang berdiri di depan kami bertanya: “Apa yang menyebabkan sebuah bank biasanya bangkrut?”. Itu adalah hari-hari pertama ketika kami, sekitar dua puluh orang trainee baru dan culun, memulai program pelatihan satu tahunnya dengan sebuah bank nasional.

Sebagian besar menjawab bahwa penyebab kebangkrutan sebuah bank tentulah karena kerugian yang dialami. Trainer menjelaskan bahwa bank yang mengalami kebangkrutan bisa disebabkan oleh banyak hal, namun biasanya berkaitan atau dipicu oleh masalah likuiditas, likuiditas yang ketat. Dalam kata lain, bank yang bersangkutan tidak memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kewajibannya. Jika kepercayaan luntur, nasabah tidak mau ambil risiko mengenai keamanan uangnya, dan me-rush bank tersebut dengan  beramai-ramai menarik tabungan atau deposito mereka. Seringkali bank yang awalnya masih solvent (memiliki aset dan kemampuan memenuhi kewajibannya), akhirnya kolaps karena kondisi likuiditas.

Bisnis dapat berjalan jika memiliki cash atau cashflow yang memadai. Reputasi perusahaan atau individu akan terangkat dalam deal bisnis jika memiliki cash yang besar. Dalam dunia investasi, ketersediaan cash yang tinggi memungkinkan investor atau fund manager mengambil kesempatan untuk membeli aset dengan harga murah, seperti dalam kondisi krisis. Sering kita mendengar cerita seseorang atau perusahaan yang kesuksesannya karena memiliki kemampuan (=cash) ketika dalam kondisi krisis.

Kegalauan Saya Karena Terlalu Banyak Uang Kas

Tetapi, dalam beberapa bukan terakhir saya merasa agak galau. Bukan, bukan karena saya tidak memiliki cash yang cukup. Justru sebaliknya saya merasa terlalu banyak memiliki cash. Tunggu dulu, ini tidak berarti saya berlimpah uang, namun secara persentase sebagian besar aset saya dalam bentuk cash, tabungan, deposito dan semacamnya, karena saya mengkonsolidasikan aset dan portfolio saya yang selama ini tidak terurus karena kesibukan kerja.

Tapi saya juga butuh cash 5 tahun lagi, 10 tahun lagi, atau mungkin 40-50 tahun lagi jika diberkahi umur yang panjang

Saya resah karena terlalu banyak cash. Betul, saya butuh cash yang cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari, atau setahun dua tahun ke depan, dan juga buat berjaga-jaga. Tapi saya juga butuh cash 5 tahun lagi, 10 tahun lagi, atau mungkin 40-50 tahun lagi jika diberkahi umur yang panjang. Jika kebutuhan cash saya 10 tahun atau 50 lagi saya biarkan saja dalam cash hari ini hingga puluhan tahun ke depan, apa yang akan terjadi?

Kita tahu jawabannya, nilai riilnya  akan berkurang digerogoti inflasi. Jika kita simpan cash di bawah bantal, nilai nominalnya tidak akan berubah, nilai riilnya akan turun seiring dengan inflasi. Jika nilai inflasi atau biaya hidup personal saya naik 7%-an per tahun, dalam 10 tahun nilai riil uang di bawah bantal tersebut akan berkurang menjadi separuh, dalam 20 tahun nilainya tinggal seperempat saja. Jika kita taruh di tabungan, mungkin memperoleh bunga 1%-2%. Dalam deposito mungkin lebih baik 3%-4% setelah dipotong pajak.
Jadi jika cash yang saya butuhkan baru 5, 10 atau 30 tahun lagi di masa yang akan datang, saya biarkan dalam bentuk cash saja, nilainya akan pelan-pelan berkurang seiring dengan detak waktu — it will kill me slowly. Idealnya, porsi dari cash yang untuk masa yang akan datang diinvestasikan dalam aset yang — dalam jangka panjang — diharapkan tumbuh lebih tinggi dari nilai inflasi.

Tracking Error!

Dalam dunia investasi profesional, kita mengenal istilah tracking error (TE). Terlepas dari definisi dan penghitungan teknisnya, TE pada dasarnya adalah indikator sejauh mana portofolio investasi yang kita miliki sekarang berbeda dengan acuan/benchmark portfolio tersebut. Jika sebuah reksadana saham acuannya adalah IHSG, misalnya, artinya investor berharap reksadana tersebut memberikan imbal hasil setidak-tidaknya sama dengan IHSG. Dengan kata lain, investor berharap kinerja reksadana tersebut bergerak setida-tidaknya seiring dengan pergerakan nilai-nilai saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang direpresentasikan oleh IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan).

Jika sang fund manager, tidak sepenuhnya menginvestasikan portfolionya kedalam saham-saham, tetapi menyimpan jumlah yang cukup besar dalam bentuk cash atau deposito, maka portofolio tersebut memiliki TE yang cukup besar. Jika saham-saham di BEI mengalami kenaikan yang tinggi dalam bulan-bulan atau tahun-tahun mendatang, apa yang terjadi dengan portofolio ini? Portofolio ini tentu akan tertinggal jauh dari acuannya, yaitu IHSG. Investor tidak akan puas dengan kinerja reksadana saham tersebut.

Jadi, sekarang Anda bisa membayangkan kenapa saya galau dengan too much cash on my hand, relatif terhadap jumlah aset saya secara keseluruhan, karena saya merasa tracking error aset saya terlalu tinggi dari kebutuhan saya di masa yang akan datang. Dan, karena cash itu tidak gratis, biaya menyimpan cash itu mahal. Biayanya adalah…jika indeks saham terus mengalami kenaikan, jika harga properti terus naik…dan tentu jika harga barang, jasa, dan segala kebutuhan anak dan istri saya terus naik. Saya akan menyesal dengan cash yang saya biarkan tersimpan begitu saja di lemari saya atau di rekening bank.

Alokasi dan Pengelolaan Cash

Jika kita kembalikan pada level perusahaan. Perusahaan, termasuk bank seperti dalam cerita awal saya, yang tidak memiliki cash atau cashflow yang cukup terancam untuk mati segera atau diambil alih pihak lain. Kita mendengar banyak perusahaan besar atau perusahaan dengan prospek yang cerah harus kolaps atau diambil alih pihak lain karena permasalahan dalam cashflow. Akan tetapi, di sisi lain, perusahaan yang memiliki cash terlalu banyak, dan tidak melakukan bisnis atau investasi yang cukup, tidak akan pernah memiliki prospek yang baik dan tidak akan pernah menjadi besar, dan perusahaan ini akan tersingkir, pada akhirnya. Dan, there’s no point kenapa perusahaan tersebut didirikan pada mulanya.

Kunci dari ini semua adalah alokasi dan pengelolaan cash yang baik

Kunci dari ini semua adalah alokasi dan pengelolaan cash yang baik. Alokasikan cash yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari, kebutuhan berjaga-jaga, termasuk berjaga-jaga jika ada koreksi di market, dan sisanya biarkan dalam bentuk investasi, mungkin saham, reksadana saham, properti, entah apa pun itu.

Cash is king, karena cash adalah sumber kehidupan bagi aktivitas bisnis atau investasi kita. We love cash. Tapi, too much love for cash will kill you, and the pain will make you crazy…

 

 

 

 

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY