Tiba-tiba seorang pengusaha senior menelepon saya bertanya: ‘Kamu tau kenapa Prof. Emil Salim menentang pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan?’ Nada suara beliau penuh penasaran, tapi ada kesan annoyed juga sedikit.

Sebelumnya, sebulan yang lalu, di sebuah acara yang diadakan LSM tempat saya bekerja, Prof Emil Salim menyampaikan pidato tentang pentingnya keanekaragaman hayati dan keberagaman pangan. Tiba-tiba beliau menyelipkan pertanyaan-pertanyaan yang menggugat kenapa Ibukota harus dipindah dari Jakarta. Tentu, beliau kaitkan juga dengan ketahanan lingkungan dan sumber daya alam hayati, walau basis gugatan utama beliau bukan itu. Saya sebagai tuan rumah acara, sedikit kaget juga. Mungkin demikian juga bapak pengusaha tadi, dan kemudian menelepon saya tak lama setelah itu.

Belakangan saya perhatikan, Prof Emil Salim memang beberapa kali melontarkan pertanyaan dan gugatan tentang rencana pemindahan ibukota ini.

Terus terang, saya tidak terlalu mengikuti opini yang berkembang tentang pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan. Yang saya tahu, orang-orang pada bergembira ria bersuka cita. Sebagian dengan gemas ikut berspekulasi, siapakah dia provinsi yang beruntung itu, yang akan terpilih kelak. Para pendukung oposisi di media sosial yang biasa galak namun juga sangat kreatif, pun tidak terlihat menentang. Ada paling menyarankan lokasi yang berbeda, dekat rumah saya sajalah, katanya.  Atau, ikut numpang cari nama: ‘Wah itu sudah kami rencanakan juga jauh-jauh, sebelum kalian punya ide ini’. Intinya, semuanya senang: mari kita beramai-ramai pindahkan ibukota dari Jakarta!

Bayangkan kita punya ibu kota baru. Lokasinya di Kalimantan, di tengah-tengah kepulauan Nusantara, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta dan pulau Jawa. Keadilan dan pemerataan pembangunan akan terakselerasi dan menyebar jauh kemana-mana. Bayangkan sebuah kota baru dengan istana yang megah. Gedung-gedung mentereng dan modern tinggi menjulang ke angkasa. Taman-taman yang hijau dan indah, jalan lebar dan trotoar penuh bunga-bunga. Tugu-tugu artistik dan heroik di persimpangan-persimpangan jalan. Tram, bus listrik, dan MRT melintas membawa warga ibukota yang sumringah bahagia…Wah, bangganya kita menjadi rakyat Indonesia.

pindah ibukota baruTak hanya itu, problem kota Jakarta, mulai dari kemacetan parah, infrastruktur yang acak kadut, polusi yang menyesakkan, semuanya akan teratasi. Plong rasanya. Lega. Karena beban ini akan dipindahkan ke ibukota baru yang indah nun jauh di sana di Kalimantan. Sungguh luar biasa.

Jadi, memang rasanya terusik kegembiran dan kesukariaan ini karena komentar-komentar Prof Emil Salim. Biasalah, grumpy old man, mungkin begitu komentar sebagian orang. Maklum Prof Emil sebentar lagi usianya menyentuh 90 tahun.

Tapi, saya bertanya-tanya juga. Kenapa pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, kereta api, pelabuhan…yang skalanya jauh lebih kecil, selama ini banyak yang mempermasalahkan. Dikritik dari berbagai sudut, entah masalah hutang piutang, pencitraan, sasaran bancakan, dan lain sebagainya. Sementara sekarang seperti senyap untuk sebuah proyek megalomania-infrastruktur ini.

Bisa jadi karena pilpres sudah usai, aktivis-aktivis sosmed sudah mulai kalem, pasrah, atau kehabisan bensin dan nasi bungkus. Bisa jadi.

Tapi beberapa hari ini, saya yang tadi juga excited tentang pemindahan ibu kota ini, mulai bertanya-tanya juga. Makin ke sini saya makin bertanya. Dan, saya sampai tidak tahan, dan mencoba lempar isu ini di sebuah grup WhatsApp. Dan seperti diduga, saya ternyata mengusik kegembiraan orang-orang akan ibukota baru. Wah, gawat ini, saya tertular grumpynya Prof Emil Salim rupanya. Kenapa-kenapa saya bisa ikut-ikutan. Jangan-jangan saya tersihir, ikut-ikutan mempertanyakan, walau tidak ikut menggugat sih.

Lalu saya coba tepuk pipi kanan saya tiga kali, kemudian pipi kiri dua kali saja. Mudah-mudahan saya terlepas dari sihir ini. Tapi gagal. Mungkin saya harus baca doa-doa sedikit. Ilmu hitam harus dilawan dengan ilmu putih. Tapi, tidak berhasil juga. Saya coba tepuk lagi pipi saya, kali ini agak keras sedikit, frekuensinya saya tambahkan. Yang kanan lima kali, yang kiri tetap dua — karena ada jerawat di situ. Tidak mangkus juga.

Tiba-tiba saya tepok jidat saya. Astaganaga. Jangan-jangan justru selama ini saya tersihir. Dan sekarang sudah sembuh!

Mimpi akan istana megah, taman-taman yang indah, gedung-gedung modern menjulang tinggi perkasa ke angkasa, jalan-jalan penuh bunga, taman luas hijau bagai surga. Mimpi akan sebuah negara yang adil makmur merata, tidak hanya berkutat di Jakarta dan Pulau Jawa. Mimpi akan Jakarta yang terbebas dari himpitan kemacetan, kesemrawutan lalu-lalang. Jakarta yang berudara bersih, Jakarta yang plong. Mimpi negeri ini akan menjadi hebat. Negeri tersohor. Saya tersihir. Saya tersihir oleh mimpi-mimpi indah ini. Lalu lupa bertanya.

Saya jadi ingat, seorang senior saya di dunia keuangan dulu pernah bercerita. Kalau mau pinjam uang Rp50 juta ke bank untuk bikin warung gado-gado, pasti repotnya minta ampun. Harus sabar nunggu mbak customer service selesai nelpon-nelpon. Coba bawa proposal untuk pinjam uang Rp50 miliar untuk bangun pabrik, karyawati bank yang cantik-cantik akan tersihir, berlomba-lomba mengantar kita ke ruang Pak Bos Kepala Cabang.

Apalagi bikin ibukota baru senilai Rp466 triliun, siapa yang tidak akan tersihir! Tak terbayangkan jika pemerintah merencanakan bikin ibukota negara baru di setiap pulau, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sungguh kita akan menjerit-jerit histeris, bergembira bersuka cita ria, menghentakkan kaki ke tanah, melambaikan tangan ke angkasa, menari bersama, bernyanyi tralala.

Namun, karena saya mulai sembuh dari sihir ini, saya mulai bertanya. Saya perlu bertanya, agar tidak tersesat di jalan. Kita perlu bertanya, agar pembangunan kita tidak tersesat.

Kita punya banyak pengalaman, track record yang panjang. Termasuk pengalaman merencanakan dan membangun satu jalur MRT yang tidak terlalu panjang dalam waktu yang sangat panjang, 30 tahun saja. Pegalaman membangun kereta api cepat, secara sangat lambat — mudah-mudahan segera bisa dimulai. Pengalaman sangat efisien dalam merencanakan anggaran, sehingga dalam eksekusi biaya membengkak jauh.  Jangan kaget, kalau anggaran Rp466 triliun kelak terpaksa menjadi Rp1.000 triliun.

Kita punya pengalaman baik dalam membengkalaikan proyek-proyek pembangunan. Mulai dari tiang-tiang monorail yang berjejer di tengah kota, hingga gedung-gedung megah di Bukit Hambalang, dan tentu saja banyak yang was-was dengan Meikarta dengan jalan empat lapisnya. Kita juga sadar sesadar-sadarnya, banyak di negeri kita yang sangat berpengalaman dalam membagi-bagi rejeki yang tak semestinya dalam setiap proyek.

Wajar kita bergembira tertawa bahagia akan barunya ibukota dengan segala berkah yang akan ada. Tapi, saatnya juga kita mulai bertanya. Sangat besar yang akan kita pertaruhkan. Anggaran sebesar Rp 466 triliun — jika tidak membengkak pada akhirnya — adalah nilai yang luar biasa. Belum lagi, biaya ekologis dan lingkungan yang akan timbul nantinya dalam proses pembangunan ibukota baru ini. Jika kita tidak tepat melaksanakan semua ini, kita akan mencelakakan anak-anak cucu kita kelak. Kewajiban keuangan yang timbul dari proyek mega raksasa ini, tentu juga akan sebagian ditanggung dan dicicil oleh anak-anak kita. 

ibukota baru pindah

Perlu juga kita bayangkan apa hal-hal lain yang dapat kita lakukan dengan uang sebesar itu. Mungkin membangun infrastruktur anti macet dan polusi di Jakarta, plus memindahkan gedung DPR ke Pandeglang, serta membangun beberapa kota industri di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Mungkin. Mungkin untuk terjaminnya gizi bagi setiap anak-anak Indonesia, serta mengundang ribuan profesor hebat dari berbagai penjuru bumi, membangun sekolah dan universitas kelas dunia, dan memberikan pendidikan gratis kualitas MIT atau Harvard kepada berjuta-juta anak Indonesia. Anak-anak Indonesia yang sehat dan cerdas kelak akan bisa membangun ibukota baru Indonesia yang lebih hebat, bukan sekedar di Kalimantan atau Papua, tapi di bulan! (*warning: ini sihir).

 

 BACA JUGA:

—  Mengenal Hedge Fund, Private Equity, dan Venture Capital

 Kita Terlalu Mengagung-agungkan Kerja Keras?

 — Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mata Uang Dalam Jangka Menengah 

— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi

— Pertarungan Antara Samurai vs Shogun di Dunia Obligasi Internasional

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com

 


 

LEAVE A REPLY