Anak saya yang nomer dua sering menyelipkan kata-kata bahasa Inggris jika berbicara. “Papa, adik baby dari tadi crying terus nggak mau stop, kayaknya udah more than one hour,   katanya suatu kali saat saya kembali dari jalan-jalan sore keliling kompleks. Di waktu yang lain, menyambut saya pulang dari warung seberang jalan, dia bilang, “Papa, I am orang kantor,” sambil memakai sepatu kantor saya dan mengalungkan dasi saya di lehernya.

Anak-anak saya memang bersekolah di sekolah yang bahasa pengantarnya sebagian besar dalam bahasa Inggris. Tujuan saya dan istri agar mereka dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan baik, siapa tahu dapat membuka kemungkinan yang lebih besar untuk masa depan mereka. Di rumah, tentu saja, kita berbicara bahasa Indonesia, sesekali ditingkahi bahasa Padang dan bahasa Sunda.

bahasa asing
“Papa, I am orang kantor.”

Beberapa kerabat dan handai taulan yang mendengar celotehan anak saya seperti itu sering tertawa, sepertinya terdengar lucu bagi mereka. Beberapa berkomentar, “Ih, keren, kecil-kecil udah pintar bahasa Inggris nih”. Walau kadangkala saya dan istri khawatir juga, kalau-kalau ada yang berkomentar miring, maklum banyak yang menganggap sekolah internasional itu elitis, atau buang-buang duit buat nampang doang padahal sekolah lokal lebih bagus, dan lain-lain.

Namun, tidak hanya anak saya yang suka mencampur-campur bahasa Indonesia dan bahasa asing, terutama Inggris, kita juga orang dewasa sering melakukannya. Pak SBY, mantan presiden Indonesia, dalam pengamatan saya, merupakan salah satu tokoh publik yang relatif sering menggunakan istilah asing dalam berkomunikasi. Seperti anda amati di FrindosOnFinance.com ini, saya sendiri lumayan sering menggunakan kata, istilah, atau ekspresi bahasa asing dalam tulisan-tulisan saya, termasuk in this article, maksud saya dalam tulisan ini.

Yang saya amati juga adalah, penggunaan bahasa asing tidak lagi hanya untuk kata/frasa/istilah/ekspresi tertentu, tetapi kadang-kadang benar-benar bicara dalam dua bahasa bercampur aduk. Saat saya menulis ini, saya mendengar anak-anak muda di sekitar saya berbicara dalam bahasa Inggris beberapa kalimat, untuk kemudian menggunakan bahasa indonesia beberapa kalimat, dan begitu seterusnya. Dan, sesekali ketika mereka berbahasa Inggris satu dua terselip kosa kata bahasa Indonesia, dan sebaliknya. Mereka adalah anak-anak muda di bidang IT start up. Sebagian dari mereka menempuh pendidikan di luar negeri, sebagian mungkin tidak, tapi mereka sudah terbiasa terekspos pada bahasa Inggris.

bahasa asing

Dalam pandangan saya, penggunaan istilah atau ekspresi bahasa asing dipicu oleh alasan atau motivasi yang berbeda-beda. Yang pertama, penggunaan istilah asing seringkali memang diperlukan, karena istilah serupa belum eksis dalam bahasa Indonesia. Saya belum tahu istilah ekuivalen untuk tracking error atau hedge fund, misalnya, dalam bahasa Indonesia.

Yang kedua, kata atau istilah yang ekuivalen dalam bahasa Indonesia belum dikenal luas dan/atau masih terdengar janggal. Sejak pertama kali menemukannya 25 tahun yang lalu di buku pelajaran kuliah, hingga hari ini saya masih merasa istilah “alih-alih” itu janggal dan tidak dipakai luas. Meski belakangan, istilah baru dalam bahasa Indonesia sepertinya lebih cepat memasyarakat, mungkin karena bantuan media dalam mensosialisasika, seperti istilah “unduh” dan “unggah”.

Yang ketiga, meskipun istilah yang ekuivalen sudah ada dalam bahasa Indonesia, namun istilah asing masih dipakai untuk memberikan ‘warna’ dan nuansa tertentu, atau untuk memberikan penekanan, terutama dalam konteks atau komunitas tertentu . Di dunia investasi dan keuangan, secara verbal atau bahkan dalam bahasa tertulis, masih sering dipakai istilah outperform atau underperform, misalnya.  Kalangan kesehatan, juga cenderung menggunakan istilah-istilah dalam bahasa asing, seperti C section atau rhinitis. Demikian juga dalam pengajian atau dakwah, sering digunakan istilah bahasa Arab.

“Berkomunikasi tidak lagi hanya bertujuan menyampaikan isi pembicaraaan, tetapi juga ingin menyampaikan pesan mengenai siapa pembicaranya.”

Kemudian, yang keempat, penggunaan istilah atau ekspresi asing kadangkala dipakai memang, istilahnya, untuk pencitraan saja, baik sukarela, tanpa sadar, atau pun terpaksa. Hal ini dilakukan untuk membangun citra (image) tertentu tentang pembicaranya, misalnya agar terkesan intelek, terdidik, atau mampu berbahasa asing tertentu. Dalam hal ini berkomunikasi tidak lagi hanya bertujuan menyampaikan isi pembicaraaan, tetapi juga ingin menyampaikan pesan mengenai siapa pembicaranya. Kadangkala sebagian kita melakukannya mungkin tanpa sadar atau terpaksa jika berada dalam situasi atau komunitas tertentu.

Yang kelima,  kita menggunakan istilah atau bahasa asing, karena kita malas. Tak ubahnya seorang maling, seringkali kita “mencuri” bahasa asing karena kita malas berusaha mencari kata atau istilah yang ada dalam bahasa Indonesia, yang sebetulnya ada, yang sebetulnya mungkin kita tahu, tapi tidak muncul secara spontanitas dalam benak kita saat kita berbicara. Maaf, istilah mencuri kedengarannya terlalu kasar, lebih tepatnya mungkin meminjam, karena kadang saya juga melakukannya.

Yang terakhir, kita menggunakan istilah asing karena semata-mata kemampuan berbahasa kita, dalam hal ini Bahasa Indonesia, belum terlalu baik. Bahasa Indonesia kita masih cetek. Karena tidak mampu menemukan istilah tersebut dalam bahasa Indonesia, karena ‘keawaman’ kita berbahasa Indonesia, kita langsung comot saja dari bahasa asing yang kita kebetulan tahu.

Beberapa tahun silam, saya betemu dengan teman lama yang dari dulu terkenal paling pintar berbahasa Inggris, yang kemudian berprofesi sebagai penterjemah resmi. Ekspektasi saya tadinya yang bersangkutan akan banyak menggunakan bahasa Inggris ketika bertemu saya. Dengan demikian saya juga bersiap-siap, dengan sedikit mengasah kemampuan bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Biar agak imbang dikit maksudnya, ehem. Tapi, justru ia hampir selalu menggunakan bahasa Indonesia dengan luar biasa smoothnya. Ia tidak perlu menggunakan istilah-istilah bahasa asing, karena pemahaman bahasa Indonesianya sangat baik. Menjadi penterjemah resmi telah membangun kemampuan berbahasa dia, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

“Kita jadi malas untuk terus belajar bahasa Indonesia, karena kita bisa tinggal comot istilah bahasa asing jika diperlukan.”

Beberapa kali juga saya memperhatikan orang-orang tertentu yang cukup senior dan intelek, yang sangat jarang sekali menggunakan istilah asing. Bukan karena mereka tidak bisa berbahasa asing, tetapi karena mereka memiliki pemahaman bahasa Indonesia yang sangat bagus.  Sepertinya mereka sudah melewati fasa-fasa yang kita mungkin belum lewati. Fasa belajar dan mengetahui bahasa dan istilah asing, lalu pelan-pelan menjadi latah menggunakannya. Kemudian, kita jadi malas untuk terus belajar bahasa Indonesia, karena kita bisa tinggal comot istilah bahasa asing jika diperlukan. Kita juga kadang sengaja menggunakan istilah asing karena barangkali ingin menunjukkan pengetahuan bahasa  asing kepada orang lain.

Jadi, jika Anda sering menggunakan kata-kata asing dalam berkomunikasi, jangan-jangan Anda tak ubahnya seperti anak saya, kemampuan bahasanya belum sempurna, sehingga harus comot kata-kata dari bahasa Inggris untuk menutupi bolong-bolong bahasa Indonesia dia.

Anyway, sudah cukup larut sore over here, guys, mungkin saatnya saya pulang, I kind of miss suara my buyung: “Papa, I am orang kantor!”

BACA JUGA

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY