Aplikasi berbasis internet dan telepon seluler, yang menjadi perantara antara konsumen dan penyedia jasa dan barang, terasa sangat bermanfaat sekali bagi semua pihak. Banyak yang menyebut ini sebagai pembuka jalan, atau bahkan sebuah revolusi, menuju sharing economy yang sesungguhnya. Yaitu, untuk menikmati manfaat/utilitas dari barang tertentu tidak perlu lagi dengan memilikinya, tetapi cukup menyewa dari pemilik lain yang sedang tidak menggunakan barang tersebut. Dengan sendirinya, tingkat penggunaan barang tersebut menjadi lebih efisien.

(Catatan: Versi dari tulisan ini sebelumnya telah di muat di Harian Bisnis Indonesia)

Seringkali mobil, apartemen atau vila yang dimiliki banyak orang kosong tidak terpakai. Mobil, sepeda motor lebih sering di nongkrong di garasi atau di tempat parkir daripada di jalanan, vila hanya terisi di akhir pekan atau di musim libur. Kalau kita hanya butuh kendaraan tersebut pada waktu tertentu saja, buat apa harus memilikinya? Sementara, bagi yang memiliki rumah, apartemen, atau mobil,  bisa menyewakannya ketika tidak dipakai.

Sharing economy seperti contoh di atas tentu bukanlah konsep yang baru, seperti time sharing rumah tempat liburan atau car sharing. Bahkan konsep sharing atau communal economy secara natural juga sudah menjadi bagian dari banyak komunitas di seluruh dunia. Yang dilakukan perusahaan teknologi saat ini adalah mengakselerasi atau bahkan merevolusi konsep sharing, dengan segala macam kecanggihan, serta kepraktisan dan kenyamanan sebuah teknologi dijital.

sharing economy dan perusahaan teknologiSecara ekonomi, tentu ini meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Jumlah mobil yang diproduksi berkurang, rumah yang dibangun dan dipelihara juga berkurang. Orang-orang dapat mengalokasikan waktu dan sumber daya yang dimiliki untuk memproduksi hal-hal lain untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup. Proses mempertemukan antara konsumen dan penyedia jasa berlangsung dengan lebih cepat, nyaman, transparan.  Tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga menambah pilihan dan meningkatkan kepuasan.

Selamat Tinggal Korporasi dan Kapitalis?

Peran perusahaan teknologi dalam konteks sharing economy ini digaungkan lebih jauh dan lebih besar lagi. Mereka dianggap membawa terobosan baru, merombak (disrupt) tatanan bisnis yang selama ini menghadap-hadapkan korporasi dengan konsumer. Dalam konteks ini, korporasi yang besar sering dianggap sebuah lembaga yang terlalu kuat, dan memiliki kekuatan tawar-menawar yang lebih besar dari kita para konsumen dan pekerja.

Dengan perkembangan teknologi, seperti platform taksi online atau platform sewa penginapan, telah terjadi revolusi atau perubahan yang dramatis, dimana konsumer langsung bertemu dengan penyedia jasa. Kita tidak memerlukan dan tidak tergantung lagi pada korporasi pemilik armada taksi, hotel, dan lain-lain.

Seseorang yang membutuhkan taksi, tidak harus lagi menggunakan jasa perusahaan taksi konvensional seperti Express atau Bluebird, tapi bisa memesan langsung dari pengendara pemilik mobil melalui sebuah aplikasi. Seseorang yang ingin memberikan jasa angkutan tidak perlu lagi bekerja pada perusahaan taksi, tapi cukup menggunakan mobil sendiri, mendaftar pada perusahaan taksi online, dan tinggal berhubungan langsung dengan pelanggan melalui sebuah aplikasi.

sharing economy dan perusahaan teknologiAbrakadabra! Tiba-tiba kita, konsumen dan pekerja, terbebas dari perusahaan-perusahaan besar tersebut. Selamat tinggal kapitalis dan perusahaan-perusahaan bermodal besar. Selamat datang ekonomi kerakyatan, ketika kita saling terkoneksi dan share satu sama lainnya. Demikian saya baca di sebuah artikel yang berseliweran di media sosial.

Siapa yang tidak merasakan manfaat dari sharing economy  ala perusahaan teknologi ini. Tidak hanya kemudahan, kenyamanan, tetapi juga tersedianya banyak pilihan dalam harga yang lebih murah. Bolak balik saya naik Uber atau Grab, tarifnya hampir selalu lebih murah dari Blue Bird, misalnya, dan seringkali gratis pula. Dengan Airbnb saya bisa menyewa rumah tua bersejarah di kota tua Florence atau di pelosok Sicilia, apartemen modern di pusat kota Stockholm atau Sarajevo. Semuanya dapat dilakukan dengan nyaman dan harga yang terjangkau.

Kita pernah pula mendengar cerita tentang pengendara taksi online yang meraih pendapatan belasan juta per bulan, tanpa harus menjadi pegawai suruhan perusahaan taksi. Dan tentu para pemiik apartemen dan rumah yang mendapat pendapatan tambahan.

Ekonomi kerakyatan, sosialis, tanpa korporasi dan kaum kapitalis, yang menguntungkan semua segmen masyarakat ternyata bukan isapan jempol belaka!

Online Platform = Sharing Economy = Ekonomi Kerakyatan?

Setiap perkembangan teknologi selalu membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup. Mulai dari penemuan api, penemuan roda, alat mekanik, mesin uap, mobil, pesawat terbang, telepon, komputer, internet, teknologi nirkabel (wireless), dan lain-lain. Tak terkecuali sharing economy yang diakselerasi oleh perkembangan teknologi digital saat ini. Oleh karenanya, setiap pihak dalam perekonomian harus mendorong bagaimana teknologi ini dapat segera diimplementasikan dan diadopsi.

Namun, mengkait-kaitkan digital sharing economy dengan ekonomi kerakyatan, dan sebagai cara untuk terlepas dari belenggu kapitalis melalui ekonomi kemitraan dan sebagainya, adalah sebuah opini yang terlalu berlebihan, bahkan dapat menyesatkan.

Suka atau tidak suka, digital sharing economy ini adalah produk kapitalis. (Catatan: bagi saya, tidak ada yang salah dengan kapitalis atau pun sosialis, jika itu membawa perbaikan buat semua). Sering kita dengar, perusahaan taksi online seperti Uber, atau Airbnb perusahaan rumah sewa online, tidak memiliki armada taksi atau hotel, namun “hanya” mempertemukan konsumer dan pemilik kendaraan atau rumah.

Tapi bukan berarti mereka bukan kapitalis yang tidak membutuhkan modal besar. Puluhan atau ratusan triliun dana telah digelontorkan oleh investor dari Wall Street atau Silicon Valley, dengan tujuan akhir tentu memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemegang saham atau investor tersebut. Menurut data Crunchbase, dalam 8 tahun terakhir Airbnb telah menerima dana USD4.4 miliar atau sekitar Rp60 triliun dari berbagai investor. Sementara, Uber telah memperoleh pendanaan sebesar USD11.56 atau lebih dari Rp150 triliun!

Funding rounds Uber. Source: Crunchbase.

Tatanan ekonomi dunia, dalam konteks pemilik modal vs pekerja dan konsumen, tidak berubah sama sekali. Kapitalis dan korporasi besar tetap hadir, yang berbeda mungkin hanya pemainnya saja. Pemain baru yang lebih inovatif dan efisien akan menggantikan pemain lama.

Bahkan, ada kecenderungan bahwa korporasi justru makin kuat dan berkuasa di era teknologi ini. Perusahaan teknologi seringkali bertarung dengan konsep winner takes all, yang menjurus pada monopoli atau setidaknya quasi monopoli. Google mendominasi mesin pencari di internet (search engine), Microsoft mendominasi perangkat lunak PC, Android mendominasi OS mobile phone, Uber mendominasi taksi online, AirBnB mendominasi online platform untuk hospitality services, Facebook (berikut Instagram & Whatsapp) mendominasi media sosial, Amazon dan Alibaba mendominasi e-ecommerce, dan lain-lain.

Artinya apa? Alih-alih ekonomi kemitraan yang lebih sosialis diantara masyarakat, tetapi korporasi dan pemiliki modal dibelakangnya  justru semakin kuat.  Karena mereka memegang pangsa pasar yang sangat besar, dan konsumer menjadi sangat tergantung pada mereka. Di beberapa kawasan, seperti di Uni Eropa, praktik kurang sehat oleh perusahaan teknologi besar sering mendapat perhatian oleh otoritas di sana

Beberapa perusahaan teknologi sebelumnya, seperti Intel dan Microsoft, telah dikenakan denda puluhan triliun rupiah oleh otoritas Uni Eropa berkaitan dengan penyalahgunaan posisi perusahaan yang dominan. Bahkan, bulan Juni 2017 yang lalu Uni Eropa mengenakan denda yang sangat besar pada Google (EUR2.4 miliar, atau hampir Rp40 triliun). Google dianggap menyalahgunakan dominasinya di pasar search engine, yang dapat merugikan kompetitor atau konsumer.

sharing economy dan perusahaan teknologi

World Economic Forum (WEF) mempertanyakan peran perusahaan teknologi dalam pemerataan pendapatan. Sementara The Economist mengungkapkan,  pada tahun 2016 lalu separuh dari “abnormally high profit” di AS berasal dari perusahaan berbasis teknologi. Yang artinya, mereka tidak menghadapai tantangan kompetisi atau inovasi yang memadai. Perusahaan-perusahaan raksasa di bidang teknologi seperti Alphabet/Google, Amazon, Microsoft, Facebook, dan Apple, tidak hanya mendominasi pangsa pasar, tetapi juga memiliki kekuatan untuk mengakuisisi dan menelan kompetitor atau calon-calon kompetitor mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut di atas telah mengakuisisi 519 perusahaan-perusahaan lain dalam satu dekade terkahir.

Teknologi Dijital Harus Kita Rangkul, Tapi…

Tidak dapat dipungkiri setiap kemajuan teknologi, termasuk platform dijital saat ini yang mempertemukan konsumer dan penyedia barang/jasa, membawa perubahan dan manfaat yang sangat besar, dan membuka jalan bagi masyarakat luas untuk berpartisipasi langsung dalam transaksi ekonomi yang selama ini mungkin hanya dapat diakses oleh pihak-pihak tertentu. Oleh karenanya harus dirangkul oleh semua, bukan dihalangi untuk melindungi kepentingan pebisnis inkumben atau karena sekedar kemalasan birokrasi.

Namun, bukan berarti revolusi teknologi dijital ini merubah lanskap ekonomi kapitalis menjadi ekonomi kemitraan, ekonomi sosialis atau kerakyatan, dan mendorong hilangnya peran korporasi yang kuat. Bahkan, sebaliknya, ada kecenderungan makin terkonsentrasi dan makin kuatnya korporasi. Model bisnis perusahaan teknologi yang cenderung ‘winner takes all’ menghasilkan dominasi yang terkadang menjurus pada monopoli.

Sebuah contoh ironis yang bertentangan dengan konsep kemitraan, misalnya, adalah rencana serius Uber untuk menggunakan armada self-driving cars. Yang artinya, pada akhirnya kemitraan dengan pengendara, yang menjadi underlying storynya selama ini, tidak relevan lagi. Jelas, kehadiran perusahaan-perusahaan teknologi ini bukanlah berdasarkan ideologi ekonomi tertentu, tetapi semata-mata berdasarkan inovasi berbasis teknologi dan tentunya prinsip ekonomi untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.

sharing economy dan perusahaan teknologi

Konsep sharing economy juga ternyata tidak seglamor yang digaung-gaungkan. Pengendara taksi online misalnya, bukan lagi semata-mata konsumen lain yang memanfaatkan kendaraannya yang sedang tak terpakai (idle). Banyak dari mereka memang berprofesi sebagai supir taksi, artinya mereka menambah kapasitas taksi dalam ekonomi, bukan sekedar mengoptimalkan idle capacity. Bahkan banyak dari pengendara taksi online bekerja atau menyewa pada juragan atau perusahaan yang memiliki armada mobil.  Hal yang serupa juga terlihat pada pasar penyewaaan penginapan online, seperti platform Airbnb, banyak pemilik atau pengelola dari apartemen yang disewakan adalah perusahaan profesional.

Dan perlu kita ketahui, nilai tambah bagi perekonomian dari  inovasi perusahaan teknologi dijital ini belum tentu sebesar yang kita bayangkan saat ini. Tarif murah taksi online atau ongkos kirim gratis, misalnya, belum tentu berdasarkan sebuah pricing yang ekonomis, bisa jadi hanya dalam rangka mewujudkan aspirasi beberapa perusahaan untuk menjadi pemenang dalam kompetisi ketat ‘winner takes all’. Uber, rajanya taksi online dunia,  setelah delapan tahun beroperasi masih mengalami kerugian yang sangat besar. Pada paruh pertama tahun 2017 ini saja kerugiannya mencapai USD1.385 miliar atau  Rp18.5 triliun. Dan, disisi yang lain kita sudah tidak pernah mendengar lagi pengendara taksi online yang mengklaim memiliki penghasilan belasan juta rupiah per bulan.

BACA JUGA

Bakar-bakar Uang Ala Perusahaan Teknologi

Black Monday: Tatkala Awan Hitam Menyelimuti Bursa

Pemahaman yang Keliru Tentang Penciptaan Uang dan Aktivitas Ekonomi

— Utang, Penemuan Luar Biasa dalam Peradaban Manusia

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

 

LEAVE A REPLY