Judul tulisan ini mungkin bagi sebagian orang terasa kuno sekali, mengingatkan mereka pada masa sekolah, berseragam dengan logo Tut Wuri Handayani di topi sekolah atau kantong baju sekolah. Bagi sebagian orang lain terasa ‘jadul’ karena mungkin mengingatkan pada era Order Baru, ketika kepemimpinan di jaman Pak Harto sering mengacu pada prinsip-prinsip yang cenderung ‘njawani‘, dan berbagai istilah Jawa yang sering kita dengar di media, atau langsung dari Pak Harto sendiri.

Beberapa tahun yang lalu, beberapa teman meledek saya berkaitan dengan artikel tentang saya di surat kabar the Jakarta Post. Dalam wawancara tersebut, saya mengutip ajaran kepemimpinan dari Ki Hajar Dewantara, yaitu: Ing ngarso sung tulodho, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayaniYang pertama, prinsip kepemimpinan ini terdengar jadul alias kuno sekali, terutama dalam konteks organisasi yang saya pimpin waktu itu, sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang pasar modal, yang dianggap sangat dinamis dan modern. Yang kedua, karena saya mengutip filosofi Jawa, atau setidak-tidaknya dicetuskan oleh seorang intelektual dari Jawa, sementara saya orang Padang alias Minangkabau yang kebetulan menginjakkan kaki di Pulau Jawa karena terbawa nasib saja.

Sumber: Koran Jakarta Post, 2014

Berbagai macam prinsip, pendekatan, atau gaya kepemimpinan pernah kita dengar atau pelajari. Seperti saya, mungkin Anda pernah membaca berbagai macam buku yang mengenai leadership atau mengikuti berbagai pelatihan, seminar, mentorship, coaching yang berkaitan dengan leadership. Masing-masing dengan pendekatan dan perspektif sendiri melihat masalah kempimpinan, atau memetodekan sebuah kepemimpinan, yang menurut mereka mungkin lebih efektif dari yang lainnya. Kadangkala, kita mungkin bingung dengan berbagai versi teori, metode, prinsip dan pendekatan kepemimpinan ini. Namun dalam pandangan saya, semuanya adalah sebuah acuan yang baik, tinggal kita memilih mana yang terasa lebih pas atau yang lebih “click”.

Dan bagi saya, prinsip kepemimpinan dari Ki Hajar Dewantara, adalah satu prinsip yang sering saya ingat untuk membantu saya memetakan permasalahan kepemimpinan yang saya hadapi, atau mengevaluasi efektivitas kepemimpinan saya. Tiga prinsip dari Ki Hajar Dewantara, cukup simpel dan “click” bagi saya.

1. Ing Ngarso Sung Tulodho

Prinsip kepemimpinan pertama dari Ki Hajar Dewantara adalah Ing ngarso sung tulodhoyang dalam Bahasa Indonesia terjemahannya kira-kira: di depan menjadi panutan atau teladan. Sangat sederhana, pemimpin berada di depan untuk menjadi panutan dan teladan bagi yang lain. Memberikan arah kemana seluruh organisasi atau tim melangkah, apa yang ingin dicapai, atau seperti apa pada akhirnya organisasi atau perusahaan yang dia pimpin.  Dalam kata lain, pemimpin harus memiliki visi yang kuat bagi seluruh organisasi, dan seorang pemimpin harus dapat menjelaskan misi yang diemban organisasi, atau apa sih makna dari semua yang dilakukan.

Tidak hanya memberikan arah dan tujuan, mimpi apa yang ingin dicapai, di depan seorang pemimpin juga harus menjadi panutan dan teladan mengenai bagaimana tujuan tersebut harus dicapai. Di sini saya berbicara tentang nilai-nilai yang kita sebagai pemimpin ingin tanamkan di dalam sebuah tim atau organisasi. Seorang pemimpin mungkin ingin menonjolkan nilai respek, misalnya. Untuk mencapai suatu tujuan, respek di antara anggota organisasi adalah sebuah hal yang kritikal. Sang pemimpin juga percaya, dengan membangun respek, maka efektivitas dalam mencapai hasil akan meningkat. Pemimpin yang lain mungkin lebih menonjolkan ketegasan atau follow by the rules sebagai salah satu nilai utama yang ingin dibangun.

Tentu, dalam contoh ini, ketegasan dan respek bukan opsi yang harus dipilih salah satu, akan tetapi lebih kepada belief sang pemimpin dalam membangun keseimbangan antara dua faktor tersebut, dia lebih condong ke arah mana. Dan pilihan tersebut bisa jadi subjektif, tapi itulah seorang pemimpin, seorang pemimpin mempunyai otoritas atau kemampuan untuk mengimpose nilai-nilai yang dia inginkan.

2. Ing Madya Mangun Karsa

Prinsip kedua dari Ki Hajar Dewantara adalah: Ing madya mangun karsa, yang kira-kira artinya: di tengah berbuat karsa. Karsa secara leksikal didefinisikan sebagai kekuatan yang mendorong kehendak. Interpretasi saya terhadap prinsip kedua ini adalah, bahwa seorang pemimpin berada di tengah-tengah anggotanya untuk membangun kehendak, keinginan, atau spirit organisasi. Dengan kata lain, berada ditengah-tengah untuk membangun passion motivasi,  atau lebih tepatnya menginspirasi pengikutnya. Menginspirasi untuk bergerak ke arah yang diinginkan pemimpin, memimpikan apa yang diimpikan pemimpin, mencapai apa yang dimimpikan tersebut, dengan cara dan nilai-nilai yang digariskan pemimpin.

Dengan berada di tengah, seorang pemimpin akan lebih memahami dinamika pengikutnya, dengan demikian ia dapat membangun strategi atau pendekatan yang lebih baik dalam mendorong pengikutnya untuk bergerak ke arah tujuan yang ingin dicapai. Dengan berada di tengah, pemimpin membaur dan melebur menjadi bagian dari semua pengikutnya, mengurangi atau bahkan melepas sekat-sekat. Dengan berada di tengah, pengikut merasakan pemimpin mereka riil: pemimpin adalah kita. Pemimpin bukan “sesuatu” yang berada di awang-awang, tetapi dia adalah “seseorang” seperti kita juga.

3. Tut Wuri Handayani

Prinsip ketiga dari Ki Hajar Dewantara ini mungkin sangat akrab bagi kita, karena Tut Wuri Handayani adalah semboyan dari Kementerian Pendidikan dari jaman dahulu kala. Makna dari Tut Wuri Handayani kira-kira adalah: di belakang memberi dorongan.

Pemimpin berada di belakang dan memberikan dorongan pada pengikutnya. Dengan berada di belakang seorang pemimpin memberikan jalan, keleluasaan, dan memberikan kepercayaan pada pengikutnya. Dengan berada di belakang pemimpin juga dapat mengobservasi pengikutnya dari perspektif yang berbeda, yaitu dari perspektif ‘kejauhan’, ketika ia tidak secara langsung memberikan arahan, ketika ia tidak secara langsung berada di tengah-tengah mereka. Jadi kunci di sini adalah kepercayaan. Kepercayaan adalah salah satu senjata yang paling efektif dalam memotivasi pengikut.

Tapi seperti yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, ‘di belakang memberi dorongan’, dengan membiarkan pengikutnya untuk berjalan tanpa dikomandokan dari depan, tanpa berjalan bersama-sama, bukan berarti seorang pemimpin meninggalkan pengikutnya. Justru, pemimping harus memberikan dorongan, memberikan dukungan, dan memfasilitasi pengikutnya.

Pemimpin Harus Berada Dimana-mana

Jadi, bagi Ki Hajar Dewantara, pemimpin tidak hanya harus berada di depan, tetapi juga di tengah dan di belakang. Pemimpin harus berada dimana-mana. Pemimpin, tentunya, harus berada di depan memberikan arah kemana kita semua melangkah dan dengan cara bagaimana. Pemimpin kadangkala harus berada di tengah, untuk menjadi bagian riil dari organisasi, memahami, memotivasi dan menginspirasi para pengikutnya untuk bergerak ke arah dan cara yang sudah ditentukan. Pemimpin kadangkala pun harus berada di belakang,  memberikan jalan dan kepercayaan pada pengikutnya, tanpa harus meninggalkan mereka, justru sebaliknya dengan memberi dukungan.

Ki Hajar Dewantara dijenguk Presiden Soekarno. Source: Universitas Islam As-Syafi’ah.

Setiap saat saya ingin mengevaluasi hasil kepemimpinan saya, memetakah permasalahan dalam organisasi saya, saya selalu bertanya pada diri sendiri dalam kerangka prinsip Ki Hajar Dewantara ini: apakah sebagai pemimpin saya sudah selalu berada dimana-mana ketika diperlukan…di depan, tengah, dan belakang. Dan, apakah saya sudah melakukan hal-hal yang seharusnya saya lakukan ketika saya berada di depan, tengah, dan belakang.

Bisa jadi permasalahan dalam organisasi saya terjadi karena saya tidak memberikan arahan dan tujuan yang cukup jelas. Atau, bisa jadi karena saya tidak cukup membaur dan memahami mereka, sehingga tidak dapat membangun hubungan, spirit, dan motivasi yang efektif. Bisa jadi juga, karena saya tidak cukup berada di belakang memberikan keleluasaan dan kepercayaan pada pengikut saya. Ini tentu saja tidak hanya dalam organisasi bisnis, bagi saya juga termasuk dalam keluarga, dimana saya telah diberi mandat sebagai pemimpin.

Terus terang, saya tidak pernah menghafal tiga prinsip kepemimpinan dari Ki Hajar Dewantara ini secara persis dan akurat, karena memang kata-katanya yang dalam bahasa Jawa ‘tinggi’ ini cukup sulit bagi saya untuk dihafalkan. Jika dibutuhkan, seperti sebelum saya memulai menulis artikel ini, saya google terlebih dahulu kata-katanya, atau saya bertanya kepada sahabat-sahabat saya dari dari Jawa. Namun, yang penting bagi saya adalah esensi  dan bagaimana saya menginterpretasikannya.

BACA JUGA:

— Ke(tidak)sempurnaan Seorang Pemimpin

— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi

— Black Monday: Ketika Awan Hitam Menyelimuti Bursa

— Louis Vuitton dan Hermes Hanya Jual Merek?

– Ketika Orang Tergila-gila Pada Gelembung Bunga: Tulip Mania

 

Salam, Riki Frindos – www.FrindosOnFinance.com


LEAVE A REPLY