P

perekonomian Indonesia mengalami pelemahan pertumbuhan dalam beberapa tahun terakhir. Kelesuan mulai terasa sejak pertumbuhan ekonomi turun di bawah 6% pada tahun 2013. Harapan untuk terjadi pemulihan, sejak pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi tahun 2014, belum terealisasi hingga hari ini

Merespon pertanyaan beberapa teman, dalam tulisan ini saya akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan berikut:

  • Seberapa parah pertumbuhan ekonomi saat ini dan bagaimana dibanding beberapa episode perlambatan sebelumnya
  • Apa yang menyebabkan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam periode kali ini
  • Bagaimana situasi perekonomian di bawah pemerintahan SBY sebelum beralih ke pemerintahan baru sekarang
  • Bagaimana struktur dan lingkungan perekonomian mempengaruhi kinerja ekonomi dalam beberapa tahun terakhir dibandingkan periode sebelumnya
  • Kenapa pertumbuhan ekonomi kita juga belum mengalami pemulihan setelah sekian lama
  • Bagaimana kira-kira prospek ke depannya, dll.

Pelemahan Pertumbuhan Ekonomi Saat ini

Yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa perekonomian Indonesia masih tumbuh, baik secara nominal mau pun riil. Yang sesungguhnya terjadi adalah “perlambatan” tingkat pertumbuhan itu sendiri, yang pada periode sebelum 2013 beberapa kali mencapai di atas 6%, saat ini hanya berkisar di sekitar 5%. Karena masih tumbuh, artinya, secara rata-rata kemakmuran rakyat Indonesia masih tetap meningkat.

Walau, tentu, ada bagian tertentu dalam perekonomian dan masyarakat kita yang secara absolut mengalami pertumbuhan negatif.  Sebaliknya, beberapa sektor, seperti sektor teknologi digital justru sedang mengalami pertumbuhan yang luar biasa pesatnya. Artikel saya sebelumnya mencoba menjelaskan hal ini secara sederhana.

Perlu juga diketahui, karakateristik perlambatan pertumbuhan ekonomi periode kali ini cukup berbeda dengan perlambatan maupun krisis yang kita pernah alami sebelumnya.

Kalau kita kilas balik ke  krisis 1998, ekonomi kita mengalami shock dan hantaman yang sangat  kuat. Kita mengalami resesi besar atau bahkan bisa dikatakan depresi, ketika pertumbuhan ekonomi  mencatat rekor negatif 13%. Belum lagi malapetaka di pasar mata uang dan pasar saham. Pemulihan menyusul krisis ini berjalan lambat, karena kita harus membenahi rumah ekonomi kita yang porak poranda.

Tahun 2005 kita mengalami krisis kecil, ketika ekonomi baru mulai beranjak tumbuh, ketika Indonesia mulai percaya diri  menyusul trauma krisis 1998. Kita  mengalami sedikit guncangan stabilitas ketahanan eksternal pada tahun 2005, anjloknya cadangan devisa, melemahnya rupiah serta naiknya inflasi dan suku bunga menyusul penurunan subsidi BBM. Akar permasalahannya adalah realita ekonomi baru, berubahnya Indonesia dari negara eksportir minyak menjadi net importir minyak. Tapi, segera ekonomi kita terus melaju.

Tahun 2008, ekonomi dan terutama pasar keuangan kita mengalami shock yang cukup besar karena faktor global yaitu krisis keuangan dunia yang bermula dari krisis KPR di AS. Namun, momentum pertumbuhan domestik masih solid, dan ekonomi RRC juga terus tumbuh dengan kuat yang mejadi dukungan eksternal bagi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia segera kembali on track.

Namun, kali ini, tidak ada shock yang spesifik, yang terjadi adalah perlambatan secara gradual selama beberapa tahun. Dari tahun 2010, 2011, hingga tahun 2012, pertumbuhan ekonomi  masih sangat sehat di atas 6%, namun melambat pelan-pelan dari 6.2%, menjadi 6.1%, dan kemudian 6.0%. Perlambatan agak tajam mulai terjadi tahun 2013, ketika pertumbuhan turun di bawah 6% menjadi 5.5%, dan tahun selanjutnya jatuh di kisaran 5%, yang berlanjut hingga hari ini.

Perekonomian Indonesia Era SBY

Terlepas dari krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008, yang juga mempengaruhi pasar dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, secara umum pertumbuhan ekonomi sangat baik selama dua periode di bawah pemerintahan SBY. Tidak hanya karena pertumbuhan tahunan beberapa kali mencapai di atas 6%, tetapi juga feel good factors dimana pertumbuhan itu sendiri mengalami percepatan, stabilitas politik membaik. Sebelumnya, ekonomi Indonesia masih berkutat dan berbenah-benah setelah porak poranda menyusul krisis besar tahun 1997/1998.

Selain pengelolaan ekonomi yang lebih baik dengan berbagai perbaikan di banyak sisi, periode di bawah Presiden SBY juga memperoleh berkah eksternal yang sangat besar. Periode itu ditandai dengan meledaknya pertumbuhan ekonomi RRC, yang mentransformasikan negara RRC dalam waktu relatif singkat menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, salah satu keajaiban dalam sejarah perekonomian modern dunia.

Pertumbuhan luar biasa di RRC, seringkali di atas 10%, membawa berkah bagi seluruh dunia, terutama negara-negara yang memilliki kedekatan secara geografis dan terlibat dalam supply chain dalam produksi domestik RRC. Indonesia sebagai negara produsen komoditas memperoleh manfaat secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, tentunya, melalui aktivitas perdagangan dengan RRC.

Karena ledakan pertumbuhan di RRC mendorong naiknya harga berbagai komoditas dunia, Indonesia juga memperoleh manfaat tidak langsung dengan naiknya harga komoditas produksi Indonesia, baik yang diekspor ke RRC mau pun ke negara-negara lainnya.

Booming sektor primer atau sumber daya alam di Indonesia ini tidak hanya memberikan multiplier effect bagi ekonomi secara keseluruhan, tetapi juga membawa aliran devisa (mata uang asing) ke Indonesia. Percepatan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dengan tetap mempertahankan surplus dalam neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Cadangan devisa Indonesia juga tumbuh cukup pesat, yang berarti terjadi kelebihan devisa setelah memenuhi kebutuhan kewajiban perdagangan internasional.

Akan tetapi, jika kita menoleh ke belakang lagi, sepertinya Indonesia cukup “terlena” dalam periode tersebut. Motivasi dan insentif untuk membangun kapasitas produksi dalam negeri tidak terlalu kuat. Kebutuhan permintaan dalam negeri yang tidak dapat dipenuh oleh produksi lokal dipenuhi dengan cara impor. Toh, kita memiliki devisa hasil dari ekspor komoditas, untuk membayar impor-impor tersebut.

Semua berjalan baik hingga perekonomian RRC mulai mengalami perlambatan pertumbuhan terutama sejak tahun 2012. Dampak perlambatan pertumbuhan di RRC terasa pada turunnya harga komoditas dunia, termasuk komoditas yang diproduksi dan diekspor oleh Indonesia. Tak pelak lagi, hal ini mengganggu sumber pertumbuhan dan juga sumber devisa Indonesia.

Akibatnya, selain dampaknya pada  aktivitas sektor sumber daya alam dan terkait, dan multiplier effect-nya, Indonesia tidak memiliki devisa yang cukup lagi untuk mengimpor berbagai barang dari luar negeri, baik untuk kebutuhan konsumsi atau pun barang input dalam proses produksi dalam negeri. Sementara di sisi lain, kita belum membangun kapasitas dan kemampuan produksi sendiri yang cukup.

Tak ada pilihan lain kita harus mengurangi impor, yang memberikan implikasi negatif lebih lanjut pada aktivitas ekonomi dalam negeri.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan RRC Bergerak Seiring dalam 10 tahun terakhir.

Era Presiden Jokowi Dimulai

Pertumbuhan ekonomi baru saja memasuki proses perlambatan ketika Presiden Jokowi mengambil tampuk kepemimpinan. Harapan sangat besar pada pemerintahan baru untuk bisa membawa ekonomi tumbuh seperti tahun-tahun sebelumnya.

Akan tetapi dengan lingkungan yang berbeda, tanpa berkah dari kenaikan harga komoditas, pemerintahan yang baru harus mencari model pertumbuhan yang sesuai. Fokus ditujukan pada penambahan kapasitas produksi dalam negeri dan peningkatan efisiensi aktivitas ekonomi secara keseluruhan, produksi, logistik, distribusi, dan lain-lain. Membangun berbagai infrastruktur merupakan prioritas.

Struktur belanja negara disesuaikan untuk mendukung arah baru kebijakan ekonomi ini. Subsidi yang dianggap kurang produktif dan  tidak tepat sasaran, seperti BBM dan listrik, dikurangi secara drastis. Sebaliknya anggaran untuk pembangunan berbagai infrastruktur ditingkatkan. Berbagai proyek infrastruktur jalan, pelabuhan, energi, air bersih, dan lain-lain coba dikebut oleh pemerintahan baru.

Lepasnya Indonesia dari jebakan subsidi yang populis, merupakan prestasi yang patut diacungi jempol. Walau proses ini telah dirintis pelan-pelan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Namun, setelah tiga tahun pemerintahan baru, belum nampak pemulihan ekonomi yang berarti. Pertumbuhan PDB riil masih berkutat di sekitar 5%. Pada lapisan masyarakat tertentu terasa pertumbuhan daya beli melambat atau bahkan stagnan. Rendahnya tingkat inflasi di satu sisi harus disyukuri, akan tetapi di sisi lain juga menjadi sinyal yang mengkhawatirkan karena seolah-olah mengkonfirmasikan lemahnya daya permintaan.

Mana Pemulihan?

Pemulihan lambat terjadi karena beberapa hal: 1) Lingkungan global/eksternal; 2) Progress reformasi struktural dan pembangunan infrastruktur; 3) Konflik reformasi struktural dan realitas jangka pendek

Lingkungan eksternal atau perekonomian global belum banyak berubah. Sumber-sumber pertumbuhan baru dunia untuk menggantikan RRC belum nampak jelas dalam 5 tahun terakhir. Harga komoditas baru sedikit membaik belakangan, itu pun masih jauh dari harga pada periode-periode sebelumnya dan belum menunjukkan tren yang definitif. Negara-negara berekembang besar BRICS yang lain malah berkutat dengan resesi.

RRC memfokuskan diri untuk  untuk menghindari crash landing pada ekonominya. Fokus mereka lainnya adalah me-rebalance perekonomiannya, dari yang berorientasi ekspor dan investasi menuju ekonomi yang lebih berbasis industri maju, jasa, dan konsumsi. Secara struktural hal ini tidak membantu banyak dalam meningkatkan permintaan pada barang komoditas Indonesia.

Perekonomian AS dan belakangan perekonomian Eropa juga menunjukkan sinyal-sinyal pemulihan, namun belum secara signifikan memberikan dukungan yang berarti, karena porsi perdagangan Indonesia dengan kawasan tersebut. Dan terlebih lagi dengan munculnya gerakan populis dan inward looking di beberapa negara maju, termasuk terpilihnya  Donald Kalera Trump sebagai presiden AS.

Reformasi Struktural

Kemudian dari dalam negeri, usaha-usaha perbaikan struktural seperti pembangunan infrastruktur dan kapasitas produksi, belum sepenuhnya memberikan hasil.

Pembangunan infrastruktur dan manufaktur, secara natural, memakan waktu bertahun-tahun. Artinya nilai tambah dari infrastruktur baru ataupun fasilitas produksi baru terhadap perekonomian belum terasa hingga proses pembangunan selesai. Akan tetapi setidak-tidaknya protes pembangunan infrastruktur itu sendiri berkontribusi pada aktivitas ekonomi berjalan.

Selain itu, kebutuhan pendanaan sangat besar dan kemampuan keuangan pemerintah terbatas, khususnya ketika pertumbuhan ekonomi melemah seperti saat ini, tentu pertumbuhan jumlah pajak yang dapat dipungut juga menurun. Berbagai upaya untuk mensiasati kebutuhan pendanaan ini dilakukan pemerintah, namun ada batas-batas yang dapat dilakukan.

Kebutuhan pendanaan besar ini harus melibatkan pendanaan dari sektor swasta, masyarakat, dan pemodal luar negeri. Dan, sayangnya infrastruktur industri dan pasar keuangan kita, khususnya pasar modal, belum cukup berkembang untuk memobilisasi dana pasar. Dalam kata lain, untuk membangun infrastruktur fisik, kita perlu membangun infrastruktur keuangan juga.

Dan seperti negara berkembang lainnya efisiensi birokrasi dan dinamika politik seringkali masih menjadi batu sandungan.

Tapi, yang pasti arah dan kebijakan yang dilakukan saat ini sudah sangat sesuai dengan apa yang dibutuhkan Indonesia.

Konflik Pembenahan Struktural dan Realita Jangka Pendek

Pemerintah pada saat ini menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu a) tantangan untuk merubah perekonomian secara struktural untuk meningkatkan kapasitas atau potensi pertumbuhan tanpa terlalu bergantung pada sektor sumber daya alam,  serta b) tantangan menghadapi siklus perekonomian yang sedang berada pada titik bawah. Menyeimbangkan dua hal ini tidak gampang ternyata, dan ada trade off satu sama lainnya.

Tujuan yang pertama membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga pemerintah mencoba dengan berbagai cara memaksimalkan berbagai sumber pendapatan. Meski inisiatif tersebut dilakukan dalam kerangka reformasi struktural dan peningkatan kepatuhan pajak, impor, bea, dll. susah dipungkiri bahwa itu juga dipicu oleh terdesaknya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pendanaan APBN tahun berjalan.

Inisiatif pemerintah untuk mensqueeze dana dari masyarakat dan korporasi, entah melalui pengetatan koleksi pajak dan bea, dll secara langsung atau tidak, diinginkan atau tidak,  menimbulkan “gangguan” pada aktivitas ekonomi berjalan, mendorong pelaku ekonomi mengkalkulasi lagi rencana dan strategi bisnis dan belanja mereka.

Terasa ironis, karena pada siklus pertumbuhan ekonomi yang lemah ini, seharusnya pemerintah memberikan stimulasi dan kelonggaran pada sektor swasta dan rumah tangga, atau kebijakan fiskal yang ekspansif. Pemerintah memang sudah melakukannya dengan sedikit melebarkan defisit anggaran. Namun, pelonggaran atau pengetatan dari kebijakan pemerintah tidak hanya secara kuantitatif, tetapi juga kualititatif, bagaimana pemerintah mengalokasikan belanjanya, serta dari sinyal-sinyal yang ditangkap sektor swasta dan rumah tangga.

Kedepannya

Terlepas dari rasa “putus asa” di sebagian kalangan masyarakat, prospek pemulihan ekonomi — setelah sekian lama tertunda — mungkin akhirnya akan tiba. Akan tetapi, seperti proses pelemahan pertumbuhan yang berlangsung pelan-pelan, pemulihan kemungkinan besar pun berlangsung pelan-pelan.

perekonomian Indonesia
RIO DE JANEIRO – Setelah mengalami resesi panjang dalam tahun-tahun belakangan, perekonomian Brazil mulai tumbuh lagi.

Lingkungan perekonomian global, on balance, menunjukkan perbaikan. Perekonomian AS masih tumbuh dengan baik, momentum pemulihan semakin kuat di Eropa, RRC sepertinya mampu menghindari hard landing dan cukup berhasil dalam mentransformasi ekonomi mereka, India terus bangkit dan diharapkan menjadi inspirasi pertumbuhan baru,  negara-negara berkembang besar lain seperti Rusia, Brazil, mulai menata diri dan melepaskan diri dari resesi.

Tentu, beberapa risiko masih membayang-bayang, mulai dari kebijakan populis di AS, tumpukan hutang di RRC, mau pun isu geopolitik terkait dengan Korea Utara.

Dari dalam negeri, investasi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir mulai pelan-pelan memberikan kontribusi pada peningkatan produktivitas. Penurunan suku bunga kebijakan dan perbaikan kondisi finansial bank-bank dalam negeri akan meningkatkan kapasitas dan  mereka memberikan pinjaman.

Thoughts

Namun, ada beberapa hal yang mungkin perlu mendapat perhatian. Dibalik idealisme reformasi struktural untuk meningkatkan kapasitas ekonomi kita untuk bertumbuh, terutama melalui pembangunan infrastruktur dan fasilitas produksi, reformasi pajak dan lain-lain, pemerintah perlu juga realistis dalam menghadapi pertumbuhan yang cenderung anemik saat ini.

Pertumbuhan anemik yang berkepanjangan dapat bertransformasi menjadi sebuah vicious cycle, yaitu pertumbuhan yang rendah menurunkan kepercayaan diri pelaku ekonomi yang selanjutnya menurunkan aktivitas ekonomi mereka, dan seterusnya. Lingkaran setan ini harus dipotong. Tentu, ketika korporasi atau individu secara sendiri-sendiri tidak memiliki kemampuan dan kerpercayaan diri untuk memulai, pemerintahlah yang harus berdiri di depan. Ini merupakan esensi dari kebijakan fiskal.

Dalam kata lain, pemerintah harus ikhlas “mengorbankan” sedikit agenda jangka panjangnya untuk mendorong momentum pemulihan ekonomi, termasuk mungkin crash program memberikan stimulasi pada sektor swasta dan bahkan rumah tangga. 

Setelah mampu melepaskan diri dari kebijakan populis subsidi BBM dan listrik, pemerintah jangan sampai terjatuh pada jebakan populis baru, yaitu memaksakan diri membangun proyek-proyek infrastruktur tertentu, yang belum memiliki skala prioritas tinggi, terutama di siklus ekonomi seperti saat ini.

Juga, pemerintah tidak usah ragu-ragu untuk melebarkan defisit anggaran hingga maksimal yang dibolehkan UU, yaitu 3% atau setidaknya 2.92% seperti yang telah disetujui DPR. Tingkat hutang pemerintah yang relatif rendah sangat memungkinkan untuk mengakomodasi defisit anggaran yang lebih besar. Setelah lebih dari satu dekade mengadopsi kebijakan fiskal dan pengelolaan hutang yang cukup konservatif, sekarang saat yang tepat untuk menggunakan sebagian kapasitas atau ruang fiskal yang terbangun selama ini.

Tapi, seperti kita tahu, isu hutang selalu rawan untuk dieksploitasi alias “digoreng” secara politis.

perekonomian indonesia
Tingkat hutang pemerintah Indonesia yang relatif rendah dan terjaga.

Tentu, tweaking kebijakan fiskal (pendapatan dan belanja negara) harus ditemani oleh kebijakan moneter. Dari sisi tersebut, BI telah menurunkan suku bunga kebijakan dua kali berturut-turut belakangan ini. Suku bunga pasar obligasi pun meluncur ke titik terendah. Namun, ada limit sejauh mana kondisi moneter dapat dilonggarkan. Bertanggung jawab mengelola kestabilan nilai tukar, BI tidak hanya mempertimbangkan inflasi domestik, tetapi juga stabilitas nilai Rupiah terhadap mata uang asing.

Perlu keberhati-hatian dalam mensiasati risiko eksternal terhadap nilai tukar, seperti rencana the Fed (bank sentral AS) mengurangi balance sheet atau efektifnya mengurangi suplai likuiditas di pasar. Selain itu, kebijakan populis AS di bawah kepemimpinan Donald K Trump setiap waktu dapat membawa risiko pada aliran modal dan perdagangan dunia. Dan, tentu, risiko geopolitik dari Korea Utara.

“Stimulasi moneter” melalui penciptaan uang/pertumbuhan kredit bank dapat diharapkan membaik. Tapi perlu diingat, pertumbuhan kredit tergantung dari kapasitas suplai dari industri perbankan dan permintaan dari sektor riil itu sendiri.

Just my two rupiahs, anyway, teman-teman..

Negeri Kita Berdarah-darah Karena Utang?

Fund Manager dan Wealth Manager Dua Profesi yang Berbeda – Astronom Apalagi

Louis Vuitton dan Hermes Hanya Jual Merek?

— Industri Penerbangan, Cantik tapi Ditakdirkan Merugi?

 

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

3 COMMENTS

  1. Terima kasih Mas Riki! Sejak saya baca tulisan Mas tentang penciptaan uang, saya kagum luar biasa dengan kualitas tulisan Mas! Termasuk tulisan ini tentang kondisi ekonomi Indonesia! Sangat jarang saya bisa ketemu tulisan berbahasa Indonesia dengan kupasan kritis, deskriptif, logis, dan mudah dipahami seperti tulisan Mas! Maju terus dan saya dukung selalu! I will be your loyal reader 🙂

LEAVE A REPLY