Nita, salah seorang rekan saya, memiliki beberapa tas bermerek dari Eropa, seperti Prada, Louis Vuitton, Hermes, dan lain-lain. Dari waktu ke waktu, suaminya suka mengingatkan bahwa harga yang iabayar untuk tas-tas tersebut 5-6x lipat dari harga “semestinya”.

Sering kita dengar komentar serupa. Banyak yang percaya, harga tas Louis Vuitton atau Prada yang misalnya seharaga Rp 25 juta, hanya “bernilai” Rp2-3 juta rupiah atau kurang. Dengan merujuk pada tas-tas bagus bikinan lokal atau yang dijual di dept store lokal. “Beda-beda dikitlah kualitas dan desainnya,” komentar mereka.

Kesimpulannya,  perempuan-perempuan urban pembeli tas bermerek, “Cuman beli gengsi,” kata seseorang. “Ketipu merek,” kata seorang lainnya.

Tentu, orang-orang yang menilai ini sebagian besar tidak memiliki tas bermerek. Lha, siapa yang mau ditipu merek, kata mereka. Juga, tidak banyak  orang yang  mampu mengeluarkan uang puluhan juta hanya untuk sebuah tas.

Tapi, benarkah tas-tas bermerek tersebut harganya di”mark-up” jauh di atas seharusnya?

Nita, misalnya, dengan tegas menolak asumsi itu semua. “Aku tidak hanya beli fungsi, aku beli desain, aku beli kepastian kualitas, kenyamanan pelayanan, aktualisasi diri dan tentu status,” kata Nita. Bahkan, banyak di antara para pemilik tas bermerek percaya, bahwa tas bermerek adalah investasi yang lebih baik daripada membeli tas biasa. Karena, harga bekas tas bermerek, apalagi untuk seri eksklusif, penurunannya tidak sebanyak tas-tas biasa. Bahkan, tas bermerek juga bisa disewakan.

Apakah benar barga tas-tas bermerek tersebut dimark-up abis-abisan dengan mengeksploitasi para penggemarnya?

Nita dan puluhan teman-teman wanita saya lainnya yang mengoleksi tas bermerek mungkin ada benarnya dengan analisa dan asumsi mereka di atas. Tapi kembali ke pertanyaan kita, apakah benar barga tas-tas bermerek tersebut dimark-up abis-abisan dengan mengeksploitasi para penggemarnya?

Mari kita coba menjawab dengan melongok isi buku perusahaan produsen barang mewah ini, dan membandingkannya dengan perusahaan “biasa”. Apa benar mereka mengambil marjin berlipat-lipat dibandingkan barang biasa. Untuk pembaca yang ingin memahami konsep dasar marjin dalam sebuah perusahaan bisa membaca dua artikel berikut yang pernah saya tulis tentang laporan keuangan (silahkan klik disini) dan tentang marjin & perputaran bisnis (silahkan klik disini).

Louis Vuitton, Hermes, Matahari, dan Ramayana

Kita akan bandingkan Louis Vuitton, Hermes, dengan Matahari Dept Store, yang menjual barang-barang fashion dan retail lainnya buat masyarakat kelas menengah Indonesia

Kita akan coba membandingkan berapa sih “marjin keuntungan” masing-masing perusahaan, dengan melihat data harga jual dan harga pokok masing-masing perusahaan, berdasarkan laporan keuangan tahun 2016 lalu. Harga pokok adalah harga yang dibayar perusahaan pada pemasok atau harga produksi barang tersebut.

1. Louis Vuitton (LVMH)

Dari Laporan Keuangan di bawah terlihat, bahwa nilai penjualan LVMH (Grup perusahaan Louis Vuitton) pada tahun 2016 lalu adalah EUR37.6 miliar. Sementara harga pokoknya (cost of sales) adalah EUR13miliar. Dengan demikian laba kotor LVMH = EUR24.6 miliar.

  • Harga jual barang-barang LVMH hampir tiga kali lipat harga pokoknya (EUR37.6/EUR13 = 2.89x)
  • Kita bisa melihatnya dari perspektif yang berbeda, yaitu marjin.  LVMH memiliki margin sekitar 65% (24.6/37.6). Dengan kata lain untuk setiap nilai penjualan barang di LVMH, 65% nya adalah porsi keuntungan.

Sebagai catatan, LVMH Group terdiri dari berbagai macam merek barang mewah tidak hanya Louis Vuitton, seperti Dior, Givenchy, Celine, Fendi, Loewe, dan lain-lain.

2. Hermes

Nilai total penjualan Hermes pada tahun 2016 adalah sebesar EUR5.2 miliar. Sementara total harga pokoknya adalah EUR1.7 miliar, yang berarti laba kotornya EUR3.5 milar.

  • Secara rata-rata harga jual Hermes sekitar tiga kali lipat dari harga pokoknya (5.2/1.7 = 3.05x).
  • Dari sisi margin, margin keuntungan kotornya sekitar 67%

Dapat disimpulkan bahwa margin laba kotor Hermes dengan Louis Vuitton   hampir sama, yaitu sekitar 2/3 dari harga jual barang adalah marjin keuntungan. Dengan kata lain, harga jual sekitar 3 kali lipat harga pokok/harga produksi.

3. Matahari Dept  Store.

Sekarang mari kita tengok isi pertu Matahari Dept Store. Pada tahun 2016 yang lalu, total penjualan bersih Matahari mencapai Rp9.9 triliun, sementara total harga pokoknya sebesar Rp3.7 triliun. Dengan demikian laba kotornya Rp6.2 triliun.

  • Harga penjualan barang-barang di Matahari rata-rata hampir tiga kali lipat harga pokoknya (9.9/3.7 = 2.70x)
  • Dari sisi margin, marjin keuntungan penjualan barang adalah 63%

Ternyata, mark up harga atau marjin barang-barang di Matahari Dept Store tidak banyak berbeda dengan Louis Vuitton atau Hermes. Louis Vuitton, Hermes, maupun Matahari Dept Store, sama-sama menjual barang dengan harga sekitar tiga kali lipat dari harga pokok atau harga produksinya. Atau marjin labanya kira-kira 2/3 dari harga jual.

Artinya, jika tas Hermes atau Louis Vuitton sepuluh kali lipat lebih mahal dari sebuah tas yang kita beli di Matahari dept store, kemungkinan besar bukanlah karena kita ketipu merek, tapi memang harga pokok atau biaya produksi tas Hermes dan Louis Vuitton sepuluh kali lipat lebih mahal dari tas-tas di Matahari dept store.

Hal yang sama tentunya antara Louis Vuitton dan Hermes. Jika sebuah tas Hermes harganya 4x-5x lipat lebih mahal dari Louis Vuitton, kemungkinan besar sekedar merefleksikan biaya produksi yang lebih mahal.

Perlu dicatat, kesimpulan kita ini berdasarkan rata-rata harga semua produk yang dijual.

Kenapa Biaya Produksi Louis Vuitton, apalagi Hermes, Sedemikian Mahalnya?

Pertanyaannya, jika dalam mata orang awam fungsi dan desain tas Louis Vuitton tidak berbeda banyak dari tas di Matahari Dept Store, kenapa biaya produksinya bisa 10 kali lipat lebih mahal? Yang pertama, apa yang terlihat mirip atau serupa dalam kaca mata awam, mungkin tidaklah serupa. Kita mungkin tidak bisa membedakan kualitas material satu tas dengan tas lainnya. Pembantu rumah tangga saya, misanya, tidak bisa banyak membedakan antara mobil Avanza dan Honda Odyssey. Semua terlihat mirip dan sama-sama bagusnya bagi dia, walaupun sebetulny harga Odyssey mungkin 4x lipat harga Avanza.

Selain itu, biaya produksi sebuah barang, seperti tas misalnya, tidak hanya dari bahan baku, akan tetapi juga desain, biaya tenaga kerja yang melakukan proses produksi dari awal sampai akhir. Gaji desainer dan pengrajin di Eropa tentunya lebih tinggi dari gaji desainer dan pengrajin Indonesia, baik karena perbedaan skills mau pun biaya hidup di dua kawasan yang berbeda.

Untung Besar Karena Harga Jual Tiga Kali Lipat dari Harga Pokok?

Dengan menjual barang tiga kali lipat lebih mahal dari harga pokoknya, sepertinya perusahaan yang kita sebut di atas memiliki keuntungan yang sangat tinggi.

Namun, biaya sebuah produk tidak hanya biaya produksi barang tersebut. Banyak biaya operasional lainnya yang harus ditanggung perusahaan. Untuk barang mewah seperti tas bermerek, ketika mereka menjual sebuah tas, sesungguhnya yang mereka jual tidak hanya tas tersebut. Mereka menjual pelayanan, pengalaman berbelanja, informasi, jaringan, mereka menjual jaminan dan kepercayaan bahwa merek ini akan tetap terjaga di masa yang akan datang, dan lain-lain.

Biaya yang  dikeluarkan Louis Vuitton untuk pemasaran dan penjualan lebih besar dari biaya produksi barang-barnag itu sendiri

Louis Vuitton (LMVH) misalnya, biaya yang mereka keluarkan untuk pemasaran dan penjualan lebih besar dari biaya produksi barang-barnag itu sendiri. Biaya pemasaran dan penjualan mencapai EUR14.6 miliar, dibandingkan biaya produksi barang yang hanya EUR13 miliar. Sementara biaya umum dan administrasi lainnya EUR2.9 miliar

Walaupun secara proporsional tidak sebesar Louis Vuitton, tapi pada dasarnya biaya operasional menjalankan bisnis Hermes juga cukup tinggi. Total biaya pemasaran, penjualan, dan biaya administrasi sebesar EUR1.55 miliar hampir sama dengan biaya produksi barangnya yang sebesar EUR1.68 miliar.

Tak banyak beda dengan LVMH dan Hermes, biaya operasional Matahari  juga lumayan besar. Biaya pemasaran, penjualan dan distribusi, serta biaya operasonal lainnya, kurang lebih sama dengan biaya pokok atau biaya produksi barang, yaitu sekitar Rp3.7 triliun.

Jadi setelah dikurangi biaya produksi atau biaya harga pokok barang, dan juga biaya operasional seperti pemasaran, penjualan, dan lain-lain, marjin keuntungan yang masih tersisa kira-kira 1/3 dari harga jual barang. Kemudian, masih ada biaya-biaya lain yang ditanggung perusahaan, seperti biaya bunga jika mereka memiliki hutang. Dan mereka pun harus membayar pajak pada negara.

Setelah dikurangi semua biaya dan pajak, laba bersih yang tersisa masih lumayan yaitu sekitar 20% dari harga jual (Hermes 21%, Louis Vuitton 18%, dan Matahari 20%). Marjin yang cukup sehat.

Mungkin Anda bertanya, bagaimana perbandingannya dengan perusahaan lain seperti Ramayana Dept Store, Indofood atau bahkan Warteg. Ini topik yang berbeda, namun untuk memberi gambaran anda mungkin bisa membaca tulisan saya yang  lain mengenai marjin dan turnover  silahkan klik di sini: Lebih Penting Marjin atau Perputaran Bisnis

— Baca juga: Pemahaman yang Keliru tentang Aktivitas Ekonomi dan Penciptaan Uang

— Baca juga: Bursa Efek…tapi Apa Itu Efek?

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY