C

ukup sering mendengar keluhan rekan-rekan saya, terutama yang memiliki usaha sendiri, mengenai langkah-langkah pemerintah berkaitan dengan pajak atau pun bea masuk. Pengetatan koleksi pajak dan pembenahan proses impor mempengaruhi biaya berbisnis atau bahkan ketersediaan barang dalam melakukan bisnis. Beberapa dari mereka harus menyesuaikan atau menunda rencana bisnis mereka. Berurusan dengan kantor pajak menjadi hal yang menakutkan bagi banyak pihak saat ini.  Di sini saya bicara tentang rekan-rekan yang bergerak di bidang usaha kecil dan menengah.

Di sisi yang lain, pemerintah dalam komunikasinya menekankan bahwa semua yang dilakukan adalah bagian dari reformasi struktural perekonomian Indonesia. Setelah sekian lama terlena oleh booming komoditas, Indonesia harus mencari sumber pertumbuhan baru dan sumber devisa baru, dan membenahi kapasitas produksi serta infrastruktur negara yang terabaikan. Belanja pemerintah pun disesuaikan alokasinya untuk mendukung tujuan ini.

kebijakan fiskalBelanja pemerintah tentu harus didukung oleh pendapatan, dalam hal ini sebagian besar adalah pajak dan bea. Pemerintah menegaskan inisiatif peningkatan kepatuhan pajak, bagi pihak-pihak yang selama ini dianggap tidak melaksanakan kewajibannya sebagai wajib pajak. “Kalau tidak salah kenapa takut”, begitu kira-kira. Pemerintah sebelumnya juga sudah ‘bermurah hati’ dengan memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk melakukan program pengampunan pajak alias tax amnesty.

Belanja Infrastruktur dan Sumber Pendanaan Pemerintah

Reformasi anggaran pemerintah mencakup sisi pengeluaran dengan — terutama — menggenjot belanja infrastruktur, dan dari sisi pendapatan dengan meningkatkan basis wajib pajak dan basis objek pajak (eg. deklarasi aset), serta meningkatkan kepatuhan pajak. 

Di atas kertas, reformasi pajak yang dilakukan memberikan dua berkah sekaligus. Yang pertama, tentu saja secara struktural meningkatkan kepatuhan pajak dan rasa keadilan, karena pajak juga merupakan alat redistribusi pendapatan. Yang kedua, peningkatan pendapatan akan dapat digunakan untuk mendanai berbagai rencana strategis pemerintah terutama di bidang infrastruktur. Jadi, sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.

Sayangnya, kondisi pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam 2-3 tahun terakhir berada di titik nadir dan hanya berkisar di sekitar 5%. Bahkan, beberapa sektor industri dan segmen masyarakat tertentu mengalami tekanan yang cukup berat untuk sekedar bisa tumbuh. Jika aktivitas perputaran ekonomi, laba perusahaan, dan pendapatan masyarakat tidak tumbuh dengan baik, tentu basis untuk pengenaan pajak juga tidak dapat tumbuh dengan baik.

kebijakan fiskalDalam situasi ini, satu-satunya cara oleh pemerintah untuk tetap bisa menggenjot pendapatan pajak adalah dengan memperluas dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dibanding periode-periode sebelumnya, yang memang merupakan salah satu agenda utama pemerintah seperti disampaikan di atas.

Dari kacamata makroekonomi, peningkatan koleksi pajak dari masyarakat oleh pemerintah, all else equal, bisa jadi tidak berpengaruh apa-apa terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Uang hanya pindah dari kantong perusahaan dan masyarakat ke kantong pemerintah. Rencana konsumsi dan bisnis sektor swasta dan masyarakat rumah tangga berkurang dan “diambil alih” oleh pemerintah.

Bahkan, seringkali ekonom yang berorientasi pasar akan berpendapat sebaliknya. Yaitu, birokrasi pemerintah umumnya tidak seefisien sektor swasta, oleh karena itu idealnya peran pemerintah dibatasi untuk menjalankan fungsi dasar birokrasi  dan perannya dalam redistribusi pendapatan, yaitu mengoleksi pajak yang lebih besar dari pihak yang lebih kaya dan beruntung,  dan kemudian  meredistribusikannya ke masyarakat luas, khususnya yang tidak mampu. 

Konflik Reformasi Anggaran & Kebijakan Fiskal Jangka Pendek

Kita tidak akan membahas itu, namun lebih pada adanya konflik  antara kebijakan strategis dan struktural pemerintah dalam hal belanja dan pendapatan negara dengan siklus pertumbuhan perekonomian yang sedang melemah.

Peran utama pemerintah dalam mengelola siklus pertumbuhan adalah dengan menyesuaikan kebijakan fiskal atau kebijakan belanja dan pendapatan negara, alias APBN. Ketika perekonomian melesu, pemerintah bertindak dengan mengambil kebijakan fiskal yang “ekpansif” yaitu memompa likuiditas atau belanja dalam perekonomian. Bisa dilakukan dengan menambah belanja negara, atau mengurangi pajak yang dipungut dari swasta dan rumah tangga sehingga masyarakat dapat meningkatkan aktivitas perekonomiannya sendiri.

Tentu, kebijakan fiskal yang ekspansif ini akan mengakibatkan anggaran pemerintah defisit, atau defisit yang sudah ada bertambah. Untuk mengatasi defisit ini tidak ada cara lain kecuali pemerintah berhutang pada masyarakat sendiri atau pemodal luar negeri.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan penambahan hutang, jika memang keuangan negara dikelola secara baik. Ketika perekonomian membaik, pemerintah bisa melakukan hal sebaliknya untuk mengurangi porsi hutang dalam perekonomian, seperti yang dilakukan dalam satu dua dekade terakhir.

Akan tetapi, seperti cerita di awal tulisan ini, sebagian pelaku ekonomi justru merasa terjadi “pengetatan” dalam perekonomian yang dipicu oleh agresifnya pemerintah dalam memungut pajak. Meskipun ini dilakukan dalam kerangka pembenahan dan peningkatan kepatuhan pajak, tak dapat dielakkan bahwa ini juga oleh desakan akan kebutuhan pendanaan belanja negara, terutama belanja infrastuktur yang cukup ambisius.

kebijakan fiskalMeskipun pemerintah, misalnya, secara kuantiatif melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif, yatu dengan melebarkan defisit anggaran dari 2.46% tahun 2016 yang lalu  menjadi 2.67% (target) tahun 2017 ini, namun secara riil dan kualitatif berbagai kebijakan dan inisiatif pemerintah, langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak, berkontribusi pada pengetatan perekonomian. Sebagian pelaku ekonomi terpaksa mengkalkulasi ulang atau menunda rencana konsumsi dan bisnis mereka. 

Singkat kata, kebijakan strategis struktural dan jangka panjang pemerintah (belanja infrastruktur, reformasi pajak)  berkonflik dengan tugas pemerintah untuk mengelola kondisi perekonomian saat ini.

Dalam perspektif lain, ada kesan pemerintah sibuk dengan proyek dan anggarannya sendiri (APBN), dan kadang “terlupa” pada tujuan akhir dari tugasnya, yaitu pertumbuhan untuk seluruh komponen pelaku ekonomi (GDP) — termasuk sektor swasta dan rumah tangga. Dalam konteks makro, secara sederhana, APBN dan prioritisasi pendapatan dan belanja adalah sekedar sasaran antara, tetapi tujuan utamanya adalah GDP.

Bahkan jika menilik APBN 2018, pemerintah kembali terlihat sangat “optimis” dan cenderung agresif, dengan target pendapatan pajak yang terus meningkat, dan tumbuh lebih besar daripada rencana belanja. Dalam kata lain, kebijakan fiskal pemerintah akan menjadi lebih ketat tahun 2018 yang akan datang (defisit turun ke 2.18%). Tentu, pemerintah punya alasan untuk menjadi optimis pada tahun depan, dan mudah-mudahan dapat terealisasi, akan tetapi jika perekonomian belum benar-benar pulih seperti yang diperkirakan, pengetatan fiskal serta usaha-usaha pemerintah untuk memenuhi target pendapatan pajak, dapat  menjadi himpitan besar lagi bagi sektor swasta dan rumah tangga.

Tantangan & Jebakan Kebijakan Populis — Dari BBM ke Infrastruktur?

Kebijakan populis adalah kebijakan yang semata-mata bertujuan untuk memperoleh kepopuleran si pembuat kebijakan. Dalam konteks kebijakan ekonomi dan pertarungan politik, kebijakan populis adalah kebijakan yang disenangi orang banyak, walau kebijakan tersebut bukanlah kebijakan yang terbaik. Misalnya, demi memperoleh suara, para politikus biasanya menjanjikan tingkat pajak yang rendah. Sementara, di sisi lain juga menjanjikan belanja pemerintah yang besar, seperti kenaikan gaji pegawai pemerintah, subsidi kesehatan, energi, membangun proyek mercusuar, dll. Dan, ini semua dijanjikan tanpa menambah hutang. Jelas ini tidak masuk akal sama sekali.

Kebijakan populis seringkali mengeksploitasi kenaifan atau ketidakmengertian masyarakat. Namun, kerap juga kebijakan populis “terpaksa” diambil oleh pemerintah (atau dijanjikan oleh politikus) karena desakan masyarakat luas. Ini ibarat orang tua yang terpaksa memenuhi keinginan anaknya untuk  belanja permen atau main games, untuk menyenangkan keinginan jangka pendek sang anak, meskipun itu tidak baik dalam jangka panjang.

Subsidi BBM dan energi, misalnya, secara umum dianggap tidak efisien dan kurang tepat sasaran. Namun selalu ada tantangan dari masyarakat, dan oleh politikus sendiri — tapi hanya ketika mereka menjadi oposisi. Dalam beberapa tahun terakhir subsidi BBM pelan-pelan dihapus, pemerintahan Jokowi perlu diberi kredit dan apresiasi karena cukup tegas dalam mengalokasikan subsidi BBM dan Energi pada belanja yang lebih produktif, seperti infrastruktur.

kebijakan fiskalAkan tetapi, komitmen pemerintah dipertanyakan, harga BBM subsidi belakangan ini tidak disesuaikan lagi, meskipun tren harga minyak dunia meningkat. Akibatnya, seperti kita tahu, laba Pertamina mengalami penurunan, yang menjadi sumber kekhawatiran pemerintah juga sebagai pemegang saham.

Idealnya, stimulasi jangka pendek untuk mendukung daya beli sektor rumah tangga dllakukan tanpa mengganggu kredibilitas pemerintah dalam hal kebijakan subsidi yang tepat sasaran, yang telah terbangun dengan susah payah.

Kebijakan populis tentu tidak saja berkaitan dengan subsidi. Semua proritas belanja negara yang dengan tujuan untuk menyenangkan publik, merebut hati masyarakat, namun bukanlah kebijakan yang terbaik, dapat digolongkan sebagai kebijakan populis.

Pembangunan infrastruktur dapat juga terjebak dalam sebuah kebijakan populis (sebagaian orang menganggap pemerintah sudah terjebak…), yang mempengaruhi pemerintah dalam mengelola perekonomian secara keseluruhan, termasuk menyeimbangkan perannya dalam membangun kapasitas ekonomi jangka panjang dan mengelola siklus pertumbuhan perekonomian yang berada pada titik cukup rendah saat ini. 

BACA JUGA

Negeri Kita Berdarah-darah Karena Utang?

Fund Manager dan Wealth Manager Dua Profesi yang Berbeda – Astronom Apalagi

Louis Vuitton dan Hermes Hanya Jual Merek?

Bakar-bakar Uang” Ala Perusahaan Teknologi

 

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY