Usai lebaran 1438H yang lalu teman baik saya, Nandang Sudrajat, mengeluarkan uneg-unegnya di Facebook: “Mau dikemanain sisa THR sementara liburan sudah habis”. Nandang, teman yang baik hati dan bersahaja ini, memang lagi pura-pura belagu. Nah, pemerintah Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir seolah-olah seperti Nandang dalam status Facebooknya: ‘belagu’.

APBN

Percaya atau tidak, selama beberapa tahun tantangan yang pelik bagi pemerintah Indonesia dan perangkat-perangkatnya adalah bagaimana menghabiskan uang. Uang yang sudah ada, uang yang sudah dianggarkan. Hal ini sedikit berbeda namun ada kemiripan dengan isu yang sering kita dengar bahwa perangkat pemerintahan, entah pusat atau daerah, menghabiskan anggaran hanya demi menghabiskannya saja.

Jika pemerintah tidak membelanjakan uang dan anggara yang harus dibelanjakan, maka yang sengsara adalah kita, ekonomi kita akan terpengaruh secara negatif. Jelas saja, peran belanja pemerintah dalam perekonomian cukup besar, bisa sepertiga dari pengeluaran dalam ekonomi.

Uang yang dimiliki pemerintah berasal dari kita rakyat, berbagai pajak dan pungutan atau aset negara yang dipercayakan pada pemerintah untuk mengelolanya. Kalau pemerintah tidak bisa membelanjakan uang yang sudah kita mandatkan, lebih baik dari awal tidak diambil sedemikian besar dari kita, dan biarkan kita menggunakan uang tersebut untuk mendorong berputarnya ekonomi.

Efisiensi dan efektivitas birokrasi adalah satu hal. Kualitas anggaran itu sendiri mungkin permasalahan yang lain, menganggarkan hanya demi menganggarkan. Namun, juga ada isu mengenai ketidakpastian hukum. Kejelasan hukum dan penegakannya juga membuat perangkat eksekutif gamang untuk membuat keputusan dalam berbagai proyek atau pengeluaran negara dan daerah. Sehingga, seringkali mereka perlu ‘ditekan’ dari pucuk pimpinan di atas untuk membelanjakan uang yang telah dialokasikan.

Biasanya sih menjelang akhir tahun anggaran, seperti kita ketahui, akhirnya dihabiskan juga sebagaian besar anggaran tersebut. Entahlah, apa ada unsur menghabiskan hanya sekedar demi menghabiskan. Tapi dari kacamata makroekonomi pragmatis dan jangka pendek, itu tetap lebih baik daripada uang itu tidak dipakai sama sekali.

Jadi, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan berbagai perangkat kementerian, lembaga negara, pemerintahan daerah untuk menggunakan dana anggaran sesuai yang telah direncanakan. Sepertinya, usaha-usaha pemerintah tersebut mulai membuahkan hasil.

APBNNamun, sayang seribu sayang, ketika semangat membelanjakan sudah semakin baik dan tinggi, uang yang ingin dibelanjakan ternyata tidak sesuai dengan harapan. Dalam dua tahun terakhir seiring dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi, penerimaan negara tidak sesuai dengan keinginan dan harapan. Pendapatan negara yang sebagian besar berasal dari pajak, tentu saja bergantung pada aktivitas ekonomi. Karena pajak umumnya berasal dari perputaran ekonomi, misalnya PPN, atau dari penghasilan wajib pajak, yaitu laba perusahaan atau pendapatan/gaji orang-perorangan, dalam bentuk PPH.

Memang, tidak tercapainya target pendapatan negara pada tahun 2016 yang lalu, misalnya, juga disebabkan oleh ekspektasi super optimis terhadap kondisi perekonomian dan kapasitas dalam mengkoleksi pendapatan. Untung, program amnesti perpajakan membantu penambahan pendapatan, walau sifatnya one-off.

Kembalinya Sri Mulyani memimpin Kementerian Keuangan, sontak meningkatkan kredibilitas dan integritas anggaran di mata investor. Dan, sosok anggaran memang terlihat menjadi lebih realistis. Investor juga membaca kembalinya Sri Mulyani kali ini dengan mandat, posisi tawar menawar dan “terms” yang lebih baik.

Akan tetapi, APBN 2017 yang disusun secara lebih realistis tidak dapat mengelak dari kenyataan kondisi perekonomian. Dalam kata lain, asumsi-asumsi yang dipakai dalam merancang APBN ini, asumsi utama atau asumsi turunan, ternyata berbeda dengan perkembangan yang terjadi sejauh ini. Asumsi utama sepeti pertumbuhan ekonomi sebetulnya tidak berbedajauh , bahkan lebih baik. Tapi asumsi lain dan turunan, seperti asumsi laba perusahaan, dan lain-lain, tidak memenuhi harapan.

Implikasinya jelas,  pendapatan pemerintah sesuai yang direncanakan dalam APBN 2017 sepertinya tidak akan tercapai. Jika pendapatan tidak dapat tercapai, tentu jumlah  pengeluaran yang harus dibelanjakan pun harus dipertimbangkan kembali. Jika, pengeluaran tidak sesuai rencana, maka program-program pemerintah harus disesuaikan, yang artinya target-target yang diharapkan bisa jadi juga tidak tercapai.

Namun, apakah ada jalan lain jika pendapatan tidak sesuai harapan, pengeluaran masih bisa dipertahankan? Jawabannya: Ada. Yaitu, dengan mencari sumber pembiayaan lain yang bukan berasal dari pendapatan pemerintah, yaitu: hutang. Tentu artinya ini memperlebar defisit anggaran, yaitu selisih antara pengeluaran dan pendapatan semakin besar.

— Baca juga: APBN dan Iuran RT03-RW07

Akan tetapi pemerintah tidak bisa seenaknya menambah hutang, ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Berdasarkan undang-undang, defisit anggaran setiap tahunnya tidak boleh lebih dari 3% dari GDP. Sementara saldo (akumulasi) hutang pemerintah tidak boleh melebihi 60% dari GDP. Namun tidak hanya rambu-rambu konstitusi yang harus dipertimbangkan, dan dipatuhi, tetapi juga reaksi pasar.

Ibarat mengendarai mobil, jika Anda ugal-ugalan di jalan, meskipun tidak melanggar lampu merah atau melebihi kecepatan yang dibolehkan, orang-orang tidak akan senang atau menjauh dari Anda. Demikian juga di dunia perekonomian dan investasi. Hutang tak ubahnya pisau beramta dua. Jika pemerintah tidak berhati-hati dalam menambah hutang, dan bagaimana hutang tersebut digunakan, pelaku pasar mungkin khawatir, dan sebagian menghindari Indonesia. Tentu, ini akan menaikkan premium risiko negara kita, entah dalam bentuk pelemahan mata uang, suku bunga yang lebih tinggi, valuasi saham yang lebih murah, aliran investasi yang berkurang, atau secara formal diturunkannya rating utang negara Indonesia, yang baru saja dinaikkan ke investment grade  oleh S&P.

Pemerintah dalam rancangan APBNP (Perubahan) tahun 2017 mengusulkan untuk memperlebar defisit dari rencana semula 2.41% menjadi 2.92%, yang masih dalam limit UU. Pemerintah juga mencoba meyakinkan pasar, bahwa mereka tidak hanya mengandalkan hutang semata, tetapi juga mencoba mengurangi belanja yang sifatnya kurang strategis, untuk menjaga supaya program-program strategis pemerintah seperti belanja infrastruktur dapat berjalan sesuai rencana.

Logika pemerintah sederhana saja. Mereka tidak ingin ketika kondisi perekonomian belum mengalami pemulihan yang solid, mereka harus mengurangi pengeluaran terlalu besar. Justru, pemerintah ingin mencoba menstimulasi pertumbuhan dengan “menalangi” dulu aktivitas ekonomi, dengan meminjam uang dari masyarakat dan menjalankan program-program yang membantu perputaran pertumbuhan. Itulah esensi dari kebijakan fiskal yang anti siklikal.

Sepertinya semua kelihatannya masuk akal. Namun terus terang target defisit 2.92% terlalu “mepet” dari batas maksimal 3.0%, dan sangat berisiko melanggar konsitusi, karena defisit anggaran pemerintah daerah yang tidak dalam kontrol penuh pemerintah pusat dapat menyebabkan defisit secara keseluruhan menembus batas 3% tersebut. Pemerintah menyatakan, bahwa dalam pandangan mereka aktual defisit dapat dijaga di angka 2.67%. Dalam kata lain, pemerintah meminta ruang untuk memperlebar defisit hingga 2.92%, namun memperkirakan dan berusaha menjaga untuk tidak melebihi 2.67%.

Bagaimana kira-kira pasar dan pemodal menyikapi? Secara logika ekonomi semuanya masuk akal. Kebijakan fiskal anti siklikal sesuatu yang dapat diterima, atau bahkan diharapkan. Selanjutnya, apakah kualitas pengeluaran yang dibelanjai defisit ini akan memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Sepertinya secara konseptual, fokus belanja strategis negara pada sektor infrastruktur memenuhi ekspektasi tersebut. Namun, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama, tentu kelayakan setiap program atau proyek, tidak hanya demi membangun infrastruktur. Tentu, harus berdasarkan kelayakan ekonomi, agar proyek-proyek ini tidak berakhir menjadi proyek mercu suar saja. Yang, kedua tentu kuaitas eksekusi. Saya percaya, pemodal dan rakyat akan memonitor dengan seksama.

Mengenai kondisi keuangan negara sendiri, pemodal sepertinya tidak terlalu khawatir dengan penambahan hutang, karena rasio hutang terhadap GDP Indonesia yang saat ini masih di bawah 30%, masih cukup jauh di bawah yang diamanatkan undang-undang dan di bawah norma-norma internasional.

APBN
Surplus/Defisit APBN Indonesia dalam 30 tahun terakhir (persentase terhadap GDP).

Namun, pasar akan melihat secara seksama, bagaimana pemerintah Indonesia menjaga komitmen untuk menjalankan praktik fiskal yang disiplin dan konservatif dari angka defisit anggara tahun ini. Jika, realisasi defisit anggaran tahun ini flirting dengan atau mendekati angka 3% — misalnya pemerintah merealisasikan defisit sebesar 2.92%, maka pasar akan memberikan perhatian dan catatan khusus. Angka 3% itu sendiri bukanlah angka yang sangat berlebihan, apalagi ketika rasio hutang Indonesia cukup rendah, namun dapat diinterpretasikan sebagai ‘paradigma’ baru, yaitu naiknya toleransi terhadap risiko dalam mengelola kebijakan fiskal.

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY