Acap kita mendengar keluhan masyarakat ketika pemerintah menaikkan harga BBM atau harga listrik. Sering pula kita mengeluh betapa pas-pasannya kualitas sekolah-sekolah negeri, tempat anak-anak kita bersekolah, entah kondisi fisik gedung maupun fasilitas belajar mengajar. Kerap juga kita kesal, jalanan berlubang tak kunjung diperbaiki. Anak-anak di pedalaman mesti menerjang sungai berangkat ke sekolah, karena pemerintah tak kunjung membangun jembatan.

Kita juga merasa tidak puas dengan pajak-pajak yang harus kita bayar. Gaji kita dipotong pajak, belanja barang atau makan di restoran juga dikenakan pajak. Transaksi bisnis sampingan kita yang tadinya tidak perlu membayar pajak, sekarang juga dikejar-kejar petugas pajak. Disamping itu, kadang kita juga harus membayar retribusi ketika masuk terminal bus, bayar tiket masuk kebun binatang milik pemerintah, bayar biaya pembuatan SIM. Wah, belum dikata lagi uang SPP anak kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, makin ke sini makin tidak terjangkau rasanya, bukankah PTN itu miliki negara?

Tak lelah-lelahnya masyarakat  menyampaikan keluhan dan aspirasinya pada pemerintah. Pemerintah sepertinya tidak pernah peduli. Mbok ya, tolong turunkan harga BBM dan harga listrik, gratiskan uang sekolah dan kuliah dan bangun gedung dan fasilias lab seperti di Eropa. Lalu, jangan lupa aspal semua jalan secara rutin, bentangkan jalan dan rentangkan jembatan ke seluruh pelosok negeri, bangun MRT di setiap kota, benahi pelabuhan-pelabuhan. Gaji kita yang pegawai negeri tolong pemerintah naikkan, kalau bisa dua kali setahun, agar rakyat sejahtera.

“Bukankah kita negara kaya dengan sumber daya alam? Belum lagi perusahaan negara seperti BUMN yang juga menghasilkan duit banyak.”

Pajak cukuplah sudah, jangan semuanya dipajakin, kalau bisa diturunkan bagar ar tidak memberatkan kita, apalagi sampai kita dikejar-kejar. Bukankah negara kita kaya dengan sumber daya alam? Belum lagi perusahaan negara seperti BUMN yang juga menghasilkan duit banyak.

Rapat RT 03 RW 07

Jalan kompleks RT 03 RW 07 berlubang parah dimana-mana, saluran air banyak tersumbat, musim hujan selalu membawa banjir. Taman kompleks juga berantakan sekali, semak dan perdu tumbuh hingga dada, rumput dan ilalang menjulang setinggi pinggang, ranting dan dedaunan rontok bertaburan di antara sampah-sampah, bangku-bangku patah berantakan, fasilitas mainan anak rusak berkeping. Sementara, beberapa pohon di tikungan jalan dahannya sering patah, karena tak pernah ada yang merapikan. Suatu kali malah menimpa mobil warga, untung tidak ada korban jiwa.

Yang paling mengkhawatirkan warga adalah masalah keamanan. Beberapa kali rumah warga kecolongan maling di siang bolong. Di depan kompleks sekarang preman suka nongkrong, mungutin uang dengan dalih mengatur lalu lintas dan menjaga keamanan. Justru, warga merasa tidak aman dengan kehadiran mereka.

Padahal tahun ini iuran RT naik 6%. Rapat RT harus diadakan segera, Ketua RT dan segenap perangkat mesti menjelaskan ini dan menawarkan solusi.

Ketua RT memulai rapat dengan menjelaskan bahwa iuran RT sejak sebelas tahun yang lalu baru sekali naik, yaitu tahun ini, karena warga selalu keberatan dengan kenaikan iuran. Belum lagi, beberapa warga yang semakin tidak disiplin atau sama sekali tidak mau membayar iuran. Pula, karena kondisi kompleks yang makin kurang nyaman, beberapa penghuni pindah ke tempat lain, jadi sumber iuran juga kian berkurang. Sementara biaya pengelolaan lingkungan RT makin hari makin meningkat dalam sepuluh tahun ini.

Jadi, selama ini, dengan sumber keuangan yang semakin terbatas, perangkat RT hanya menggunakannya untuk hal-hal yang diprioritaskan. Yang pertama, pengumpulan sampah dan kebersihan lingkungan sekitar rumah. Kedua, keamanan perumahan pada malam hari hingga subuh. Kemudian, biaya operasional mesjid RT, termasuk gaji marbot dan kebutuhan lain seperti perayaan hari keagamaan. Terakhir, untuk biaya sosial, seperti warga yang meninggal.

Sebagian warga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan RT, berpendapat masalah keamanan lebih penting dari dana sosial, toh warga yang meninggal jarang sekali. Warga lain juga beranggapan, uang RT terlalu banyak dihabiskan buat aktivitas mesjid, aktivitas mesjid bisa sebagian didanai dari celengan jamaah saja. Yang lain mengusulkan untuk menaikkan iuran lagi saja supaya bisa terpenuhi biaya operasional RT. Tapi, banyak juga yang tidak setuju, dan mengusulkan warga untuk bertanggung jawab sendiri-sendiri untuk kondisi jalan dan saluran air di sekitar rumahnya masing-masing.

Seorang warga juga protes kenapa pendapatan RT dari penyewaan lapangan futsal kompleks makin turun terus, dan mengusulkan kalau lapangan futsal itu dijual saja dan dananya dijadikan dana RT untuk keperluan RT ke depan-depannya.

Dengan berbagai macam usulan, Pak RT merasa bahwa RT 03 RW 07 perlu arah dan kebijakan baru, dan lebih baik dengan kepimpinan yang baru. Seperti biasa, tak satu pun warga bersedia menjadi ketua RT yang baru.

There is No Free Lunch

Tidak ada yang gratis di dunia ini, semuanya harus bayar atau perlu pembiayaan. Jika warga RT tidak mau membayar iuran (yang cukup), mereka harus siap dengan konsekuensinya, pelayanan dan pemeliharaan umum dari RT akan terbatas. Karena uang tidak turun dari langit. Bisa jadi itu pilihan yang diinginkan, iuran secukupnya, sementara urusan lain diurus sendiri-sendiri oleh warga secara individu. Yang kedua, warga juga harus setuju, dengan berapapun jumlah iuran yang ada, bagaimana uang itu harus digunakan. Apakah mesjid dan hal keagamaan sebagai prioritas, atau masalah keamanan, atau masalah kebersihan dan kesehatan warga, atau masalah jalanan, selokan dan infrastruktur RT lainnya.

” di negara lain, duit negara disebut taxpayers’ money, uang pembayar pajak”

Pendapatan dan belanja negara, seperti tertuang di APBN, tak ubahnya seperti iuran dan belanja RT. Tidak ada yang gratis, duit “negara” adalah duit kita rakyat semua, dari iuran kita terutama pajak. Makanya di negara lain, duit “negara” umumnya disebut taxpayers’ money, uang pembayar pajak.

Lho, bukankah negara kita kaya dan menguasai berbagai sumber daya alam? Iya, kita negara kaya dengan sumber daya alam, tapi kontribusinya terhadap belanja negara tidak signifikan. Jika kita, lihat APBN Indonesia tahun 2017, kontribusi dari pendapatan sumber daya alam hanya Rp87 triliun, tidak sampai 5% dari total anggaran pendapatan yang sebesar Rp1.750 triliun. Bagaimana dengan BUMN-BUMN besar yang dimiliki pemerintah? Total kontribusi dari BUMN ini diperkirakan hanya Rp41 triliun, atau hanya sekitar 2% dari anggaran belanja pemerintah.

Lalu, pemerintah dapat duit dari mana? Dari langit atau dari Dimas Kanjeng Taat Pribadi? Duit pemerintah bukan dari mana-man, tetapi dari saya, dari Anda, terutama dalam bentuk pajak.
Sama seperti yang terjadi di RT03 RW07, kalau iuran tidak cukup, tentu pengeluaran negara juga terbatas. Kalau kita bayar iuran banyak, tentu banyak juga yang bisa dilakukan pemerintah untuk kita. Seberapa banyak iuran atau pajak yang kita inginkan? Itu pilihan kita, rakyat.

Warga di negara Eropa, terutama negara Scandinavia, memilih iuran pajak yang tinggi, dan membiarkan pemerintah mengalokasikannya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Rakyat AS cenderung memilih membayar iuran pajak lebih rendah, dan mereka akan tangani sendiri untuk hal-hal yang tidak mampu tertangani pemerintah karena dana pemerintah yang lebih terbatas.

Jadi, teorinya, tergantung kita, dalam sebuah proses politik. Kita pilih pemerintah dan DPR yang menurut kita akan membawa aspirasi kita dalam hal iuran pajak dan pengeluaran pemerintah. Sayang proses politik ini kadang tidak sempurna. Sering juga kita terkecoh karena sesuatu yang tidak realistis, sebab politikus sering menjanjikan angin surga, berbagai macam pelayanan dan belanja negara, tanpa menjelaskan bagaimana itu akan didanai.

Barusan, saya mendengar sebuah berita menarik dari RT03 RW07. Komite independen yang dibentuk warga menemukan ternyata administrasi dan pencatatan keuangan RT berantakan, RT menggaji staf yang tidak perlu. Yang lebih parah, ternyata komite ini juga menemukan, uang hasil penyewaan lapangan futsal kompleks disalahgunakan oleh salah satu pengurus RT, dan sepertinya Dewan RT yang bertugas mengawasi pengurus RT juga kecipratan. Warga marah dan ingin merombak tata laksana pengelolaan RT supaya lebih efisien, dan menuntut pengurus dan anggota Dewan RT mempertanggungjawabkan penyelewengan.

Warga berhak marah dan menuntut, karena pengurus RT hanya pelaksana mandat dari warga, karena uang dan sumber daya RT adalah milik warga. Mereka berhak marah.  Kita berhak marah. Kita berhak marah jika uang dan sumber daya negara tidak dikelola secara baik oleh penguasa. Tapi sebelum marah, akan lebih baik kita mengerti dan memahami apa yang terjadi, apakah karena salah kelola atau memang karena kemampuan iuran kita, yaitu pajak, terbatas. Bisa jadi dua-duanya.

— Baca juga: Bergesernya Tantangan APBN dari Pengeluaran ke Penerimaan

— Baca juga: Negeri Kita Berdarah-darah Karena Hutang?

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY