Kita sering heran melihat toko-toko yang menjual barang-barang mewah di mall kelas atas, seperti Pacific Place,  Plaza Indonesia, atau Plaza Senayan, yang sepertinya selalu sepi dikunjungi pembeli. Satu dua pembeli kadang masuk, untuk kemudian keluar lagi. Kita juga heran bagaimana mungkin perusahaan tersebut bisa bertahan, mengingat mahalnya sewa di mall kelas atas tersebut, dan toko-toko barang mewah tersebut selalu mengambil lokasi yang paling strategis. Belum lagi gaji karyawan dan karyawati tokonya yang kelihatan perlente.

Di lain waktu,  kita juga terheran-heran masuk ke sebuah supermarket diskon yang selalu ramai dikunjungi pembeli karena harganya sangat murah. Sepertinya supermarket ini mengambil keuntungan tipis sekali. Dan kita juga heran bagaimana supermarket ini bisa bertahan dengan keuntungan yang tipis itu. Mereka menyewa tempat yang cukup luas dan karyawan yang lumayan banyak berseliweran di tengah ramainya pengunjung.
Marjin bisnisTentu saya tidak tahu bagaimana kinerja aktual dari toko barang mewah yang kita bicarakan di atas, demikian juga supermarket yang ramai tersebut. Tapi, jika kedua-duanya bertahan bertahun-tahun, tentu dapat kita asumsikan bahwa baik toko barang mewah dan supermarket murah tersebut memiliki kinerja yang baik, walau dengan pendekatan atau bisnis model yang berbeda.
Sekarang mari kita lihat lebih jauh perbedaan mendasar dari kedua bisnis yang berbeda ini, dari perspektif manajemen keuangan.

Marjin Laba & Turnover

Ada dua hal, secara manajemen keuangan, yang membedakan antara toko barang mewah dan supermarket ini. Yang pertama, mengenai tingkat keuntungan, atau Marjin Laba dalam istilah bisnis yang lebih sering dipakai. Tokoh barang bermerek mewah sepertinya mengambil marjin laba yang besar, artinya harga jual dibandingkan harga pokok selisihnya cukup besar.
Katakan mereka membeli sebuah tas bermerek dari pemasok di Eropa seharga Rp10 juta, tapi mereka jual seharga Rp20 juta, artinya laba kotor Rp 10 juta. Dengan kata lain, marjin labanya 50% (laba kotor/harga jual  = Rp10 juta/Rp20 juta). Tentu ini baru marjin laba kotor. Tapi asumsi biaya lain-lain sebesar Rp3juta untuk setiap tas, laba bersih untuk setiap penjualan tas adalah Rp7 juta, atau ekuivalen dengan laba marjin 35%.
Sementara, di supermarket tadi sepertinya marjinnya sangat tipis. Sebagai contoh, satu kilogram gula pasir dijual seharga Rp12ribu per kilo, sementara harga beli dari pemasok Rp10 ribu, artinya marjin laba kotornya tcuman 16%. Dikurangin biaya lain-lain, kita perkirakan laba bersihnya cuman Rp1.000 per kilogram, atau marjinnya hanya 6%.
Dapat kita simpulkan marjin laba toko barang mewah bermerek jauh lebih besar dari marjin laba supermarket. Tapi kenapa kedua-duanya bisa bertahan?  Seperti observasi kita sebelumnya, toko barang mewah sangat sepi dikunjungi pembeli, sementara supermarket sangat ramai dengan jumlah transaksi yang banyak.
Dalam kata lain, Perputaran (Turnover) barang di supermarket jauh lebih tinggi daripada di tokoh tas bermerek.
Katakan setiap harinya supermarket membeli 1000 kg gula dari pemasok dengan total nilai sebesar Rp10 juta, dan semua gula itu setiap harinya habis di beli pembeli dengan laba bersih Rp1 juta. Uang hasil penjualan tadi setiap pada hari berikutnya dibelikan gula lagi dari pemasok, dan dijual lagi dengan keuntungan Rp1 juta. Dalam seminggu supermarket ini bisa menorehkan laba Rp7 juta.
Sementara, di toko barang mewah, modal Rp10 juta dibelikan satu tas, dengan marjin laba yang besar yaitu Rp7 juta. Namun sayangnya, tidak setiap hari ada yang beli tas tersebut, rata-rata hanya terjual 1 dalam seminggu. Jadi, dalam seminggu laba toko barang mewah ini Rp7 juta, yang ternyata sama dengan laba supermarket!

” Pada akhirnya laba sebuah bisnis tergantung dari tingkat keuntungan yang diambil (marjin) dan tingkat perputaran bisnis tersebut (turnover)”

Dapat kita simpulkan, bahwa pada akhirnya laba sebuah bisnis tergantung dari tingkat keuntungan yang diambil (marjin) dan tingkat perputaran bisnis tersebut (turnover). Marjin yang kecil dapat/harus dikompensasi dengan perputaran yang tinggi. Sebaliknya, perputaran yang rendah dapat/harus dikompensasi dengan marjin yang besar. Jadi, dalam aspek manajemen keuangan, sangat kritikal dan mendasar  menentukan kombinasi yang optimal antara marjin dan turnover/perputaran, dalam rangka meraih laba yang sebesar-besarnya bagi perusahaan.
Akan tetapi, seringkali perbedaan marjin dan perputaran bisnis bukanlah pilihan atau strategi dari pemilik bisnis, tetapi sekedar menggambarkan karakteristik dari jenis atau sektor bisnis yang digeluti masing-masing pengusaha. Toko barang mewah dan supermarket di atas adalah contoh klasik, bahwa perbedaan marjin dan turnover sekedar merefleksikan karakteristik bisnis yang berbeda.
Marjin bisnisSupermarket menjual barang konsumsi sehari-hari bagi semua lapisan masyarakat. Wajar, jika supermarket tak henti-hentinya dikunjungi pembeli dan memiliki perputaran yang tingg. Di sisi lain, berapa banyak sih di antara kita yang sanggup dan meras perlu membeli tas bermerek made in Italia atau Perancis? Kalau pun ada di antara kita yang sanggup,  kita tidak akan membeli tas tersebut tiap ahari atau tiap minggu seperti kita membeli beras atau minyak goreng.

Marjin Bisnis & Struktur Modal & Leverage

Ada satu faktor lagi yang menentukan tingkat keuntungan selain marjin dan turnover, yaitu bagaimana kita mengoptimalkan “struktur modal” kita. Dari contoh di atas, dengan modal sendir Rp10 juta untuk membeli gula atau tas bermerek, kita bisa sama-sama mendapatkan laba bersih Rp7 juta tiap minggunya, atau tingkat pengembalian modal kita 70% (Rp7 juta/Rp10 juta). Dalam manajemen keuangan tingkat penembalian modal ini disebut ROE (Return On Equity).
Bagaimana misalnya kita ingin membuka dua toko, tapi modal sendiri kita hanya Rp10 juta? Kita bisa lakukan dengan meminjam uang Rp10 juta. Menambah modal dengan meminjam uang, dalam manejemen keuangan dikenal sebagai istilah Leverage. Jadi dengan modal sendiri Rp10 juta + hutang Rp 10 juta, kita bisa membuka dua toko. Bisnis berjalan sesuai rencana, masing-masing toko tiap minggunya menghasilkan laba Rp7 juta, total Rp14 juta. Karena, kita memiliki hutang, kita harus membayar bunga pada pemberi pinjaman, katakan biaya bunga total Rp5juta. Sehingga, laba bersih  sekarang menjadi Rp9 juta.

Dengan meminjam uang Rp10 juta, kita bisa membuka dua toko dengan laba bersih lebih tinggi Rp 9juta (vs Rp7 juta tanpa hutang), dengan modal sendiri yang sama, yaitu Rp10 juta. Artinya tingkat keuntungan/pengembalian modal (ROE) kita juga naik, dari 70% menjadi 90%!

DuPont Equation

Kesimpulannya, dari perspektif manajemen keuangan, tingkat keuntungan bagi pengusaha atau pemegang saham dalam sebuah bisnis (ROE) pada akhirnya ditentukan oleh 3 faktor ini:
  1. Margin
  2. * Perputaran (Turnover)
  3. * Tingkat Hutang relatif terhadap modal sendiri (Leverage)

ROE = Margin * Turnover * Leverage 

Untuk meningkatkan ROE bagi pemegang saham, bisa dilakukan dengan menaiika satu atau lebih dari faktor di atas, selama tidak mempengaruhi faktor lainnya. Dalam manajemen keuangan rumus di atas dinamakan persamaan DuPont atau DuPont Equation. Dinamakan demikian karena dipopulerkan sekitar seabad yang lalu oleh perusahaan DuPont di Amerika Serikat, sebagai alat analisis yang sederhana dalam mengidentifikasi dan memahami efisiensi dari lini bisnis atau produksi.

Tapi perlu saya tambahkan, bahwa walau pun secara teori semakin tinggi tingkat hutang maka semakin tinggi pula ROE bagi pemegang saham, tapi ada batas seberapa besar hutang yang akan diambil. Tingkat hutang yang terlalu tinggi akan meningkatkan risiko bisnis, yang akan direspons oleh pemberi pinjaman dengan meminta tingkat bunga yang lebih tinggi.


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY