S iapa yang tidak tahu ATM di jaman sekarang ini,  mesin yang bisa secara otomatis mengeluarkan uang alias Automated Teller Machine. Seseorang cukup kreatif membuat kepanjangan ATM dalam bahasa Indonesia yaitu Anjungan Tunai Mandiri. Tapi apakah anda pernah mendengar istilah perbankan ATMR? Yang biasanya dikaitkan dengan sebuah istilah lain yaitu CAR.

Bagi Anda yang berkarir di sektor keuangan, khususnya perbankan,  tentu sudah sangat akrab dengan istilah atau singkatan di atas. Bagi Anda yang sering membacanya di media tapi tidak terlalu paham akan maksud istilah-istilah tersebut, mari kita bicarakan di sini. Yang jelas, ATMR ini tak ada hubungannya dengan ATM, dan CAR tidak ada hubungannya dengan mobil.

ATMR/RWA

” Sesuai namanya ATMR adalah jumlah aset sebuah bank berdasarkan profil risiko masing-masing aset tersebut”

ATMR adalah ‘Aset Tertimbang Menurut Risiko‘, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai RWA (Risk Weighted Asset). Sesuai namanya ATMR adalah jumlah aset sebuah bank berdasarkan profil risiko masing-masing aset tersebut. Jika sebuah bank misanya memiliki aset Rp100 triliun, ATMRnya belum tentu Rp100 triliun, bisa jadi cuman Rp50 triliun. Kenapa? Karena tidak semua aset tersebut memiliki risiko, seperti risiko kredit, ataupun risiko pasar dan risiko operasional.

Misalnya, jika aset bank tersebut adalah obligasi pemerintah, maka risiko kreditnya adalah 0 (nol), karena pemerintah ‘pasti’ akan melunasi obligasi yang dimiliki bank tersebut. Artinya, bank yang memiliki aset obligasi pemerintah sebesar Rp1 triliun, ATMR untuk obligasi tersebut adalah nol, berdasarkan pendekatan risiko kredit. Tapi untuk aset yang berupa kredit yang diberikan kepada individu atau perusahaan, risikonya tentu tinggi, bisa saja keseluruhan kredit tersebut macet. Maka, OJK bisa menetapkan bahwa jenis aset tersebut ATMRnya 100% dari nilainya.

ATMR ini juga dapat dipandang sebagai indikator risiko penurunan nilai aset sebuah bank. Jika ATMRnya 0, berarti risiko penurunan nilai aset tersebut hampir tidak ada. Jika ATMR 100% dari nilai aset, maka risiko penurunan nilai aset sangat beasr.

Dalam peraturan yang dikeluarkan OJK, perhitungan ATMR ditetapkan secara detail, termasuk seberapa besar faktor risiko untuk masing-masing aset yang dimilki bank tersebut. Selain jenis aset (yaitu kredit yang diberikan, posisi trading, penyertaan pada anak perusahaan, dll), juga counter party atau pihak yang berhubungan dengan bank untuk masing-masing aset tersebut. Misalnya, kredit yang diberikan atau investasi pada obligasi dari  BUMN dengan credit rating AAA akan berbeda dengan risiko untuk kredit atau obligasi dari perusahaan swasta dengan rating BBB, apalagi yang tidak memiliki rating.

Untuk apa ATMR ini dihitung? ATMR ini dihitung dan dilaporkan untuk memantau seberapa besar eksposur risiko suatu bank, yang berasal dari pengelolaan asetnya, seperti penyaluran kredit dan pembelian aset keuangan lainnya. Sebuah bank dengan aset yang lebih besar bisa jadi eksposur terhadap risiko (ATMR) lebih kecil daripada bank dengan jumlah aset yang lebih kecil.

CAR (Capital Adequacy Ratio)

Nah, untuk memastikan bank memiliki kemampuan finansial jika sesuatu terjadi dengan asetnya, dengan mengacu pada total ATMRnya, maka bank diharuskan memiliki kemampuan permodalan yang cukup.

Modal yang dimilik bank, dan semua jenis perusahaan yang lain, pada dasarnya adalah buffer  atau “penyangga” atas kemungkinan kerugian yang dialami perusahaan. Jika perusahaan tidak memiliki modal yang cukup untuk mengkompensasi kerugian, maka perusahaan tersebut akan mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan sebuah bank dapat memberikan dampak yang besar bagi stabilitas industri keuangan, karena bank memiliki kewajiban pada nasabah deposan, dan juga memiliki keterkaitan dengan pelaku di sektor keuangan mau pun sektor riil.

Melalui peraturannya, OJK (d/h BI) menetapkan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) bagi setiap bank  —  atau lebih lazim dikenal dalam istilah Bahasa Inggrisnya, Capital Adequacy Ratio (CAR). Yaitu, berapa jumlah modal minimum yang harus dimiliki sebuah bank, untuk mengantisipasi risiko penurunan nilai aset-asetnya. Dengan demikian, CAR ditetapkan relatif terhadap ATMR.

Konsep serupa juga diterapkan di perusahaan sektor keuangan lainnya, seperti RBC (risk-based capital) di perusahaan asuransi. Sedikit berbeda, namun dengan filosofi yang sama, ditetapkan juga bagi perusahaan efek yang bergerak di pasar modal ketentuan serupa , yaitu MKBD (Modal Kerja Bersih Disesuaikan/Adjusted Net Working Capital).

Pada dasarnya, bank harus memiliki jumlah modal minimum atau CAR  antara 8% – 14% tergantung dari peringkat profil risiko bank tersebut.  Profil risiko ini dinilai berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh BI atau OJK. Bank dengan CAR 10%  artinya memiliki modal sebagai buffer sebesar 10% dari aset berisikonya (ATMR).

Selain itu, OJK juga menetapkan ketentuan modal tambahan yang akan diterapkan secara bertahap. Modal tambahan ini ditetapkan untuk 3 hal. Yang pertama, capital conservation buffer (modal ekstra penyangga) sebesar 2.5% dari nilai ATMR. Yang kedua, counter cyclical buffer, modal ekstra untuk mengkompensasi siklus bisnis yang berpotensi meningkatkan risiko bank, jumlahnya 0%-2.5%. Yang terakhir, capital surcharge untuk ‘bank-bank sistemik’, jumlahnya 1%-2.5%. Bank sistemik adalah bank-bank besar yang risiko bisnis dan finansialnya secara sistemik dapat mempengaruhi industri perbankan atau sektor keuangan secara keseluruhan.

Tipe Modal Bank

Berdasarkan peraturan OJK, tidak hanya modal yang disetor pemegang saham yang dapat dapat diakui sebagai ‘modal’ dalam menghitung dan memenuhi kewajiban CAR di atas. OJK mengklasifikasikan modal ini sebagai berikut:

  • Modal Inti (dikenal juga sebagai modal tier 1)
    • Terdiri dari Modal Inti Utama dan Modal Inti Tambahan. Pada dasarnya Modal inti adalah modal ekuitas seperti modal disetor, agio, laba ditahan, dan lain-lain (Modal Inti Utama). Termasuk juga ekuitas dalam bentuk saham preferens, atau obligasi subordinasi perpetual, yang tidak ada jatuh temponya (Modal Inti Tambahan).
  • Modal Pelengkap (modal tier 2)
    • Modal pelengkap berasal dari penerbitan obligasi subordinasi dengan jangka waktu minimal tertentu.

Meskipun modal yang bukan berasal dari ekuitas yang tradisional  dibolehkan untuk memenuhi kewajiban CAR, namun ada batasan-batasan yang ditetapkan oleh OJK. Misalnya, minimum jumlah modal inti utama adalah 4.5% dari ATMR, dan modal inti secara keseluruhan minimal 6% dari ATMR.

” Saat ini, bank-bank Indonesia, terutama bank-bank besar, memiliki kecukupan permodalan yang cukup baik. “

Saat ini, bank-bank Indonesia, terutama bank-bank besar, memiliki kecukupan permodalan yang cukup baik. The big 4 (yaitu BRI, Bank Mandiri, BCA, dan BNI) umumnya memiliki rasio CAR di atas 20%, kecuali BNI yang rasio CARnya sekitar 19%.

Sebagai ilustrasi, berikut adalah contoh data ATMR/RWA , CAR, dan Modal dari Bank Danamon.

Sources: website Bank Danamon

 

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


 

LEAVE A REPLY