Siapa yang tidak resah dengan fluktuasi kenaikan harga barang-barang. Apalagi jika itu barang kebutuhan utama yang dikonsumsi masyarakat banyak. Harga daging sapi yang terbang tinggi, harga cabe yang sekonyong-konyong melonjak, harga beras…atau bahkan di masa lalu harga semen yang tiba-tiba saja tidak terjangkau. Saya tidak ingin ikut-ikut berpolemik mengenai akar masalah di belakang kenaikan harga beberapa komoditas ini, apakah ini karena ketidakefisienan sistem produksi dan distribusi, atau memang ada ‘mafia’ tertentu yang menguasai dan mempermainkan suplai.

Tapi, sebagian dari kita mungkin bingung atau mungkin skeptis terhadap angka inflasi yang resmi diumumkan Biro Pusat Statistik, yang cuman segitu-gitu aja. Bahkan dalam 2 tahun terakhir angka inflasi tahunan hampir selalu konsisten di bawah 4% (per tahun lho). Masa iya? Apa ada diskoneksi terhadap harga yang kita bayar sehari-hari dengan angka inflasi? Atau jangan-jangan angka inflasi dari BPS itu dimanipulasi untuk menutupi kenyataan pahit yang ada?

Bukan sebuah hal yang mustahil memang angka inflasi dimanipulasi oleh kekuasaan, seperti yang pernah terjadi di negara lain. Misalnya, selama bertahun-tahun pemerintahan Argentina, di bawah Presiden Cristina Fernández yang berkuasa hingga tahun 2015, memanipulasi angka inflasi negaranya. Tujuannya tentu untuk menutupi pengelolaan ekonomi yang kurang becus. Juga, secara tidak langsung dapat mengurangi pengeluaran negara dalam pembayaran inflation-linked bond, obligasi yang dikaitkan dengan tingkat inflasi.

inflasi harga daging sapi
Dua bocah bermain musik di jalanan ibukota Argentina, Buenos Aires. Pemerintahan Argentina selama bertahun-tahun dituduh melakukan manipulasi terhadap angka inflasi

Seperti dalam tulisan saya yang lain, saya pernah mengupas bahwa inflasi mengukur harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, oleh sebab itulah inflasi secara resmi dinamakan IHK (Indeks Harga Konsumen) atau CPI (Consumer Price Inflation).

Isi Keranjang Belanja Saya

Jadi harga barang dan jasa apa saja yang diukur oleh BPS? Karena ini menyangkut indeks harga barang belanjaan yang kita konsumsi, maka BPS mengukur harga barang-barang yang ada dalam keranjang belanja kita. Apa saja barang-barang yang ada dalam keranjang belanjaan kita? Ya, bayangkan saja isi keranjang belanja kita ketika berbelanja ke pasar, supermarket, department store, mall, dan lain-lain. Juga isi keranjang belanja ketika kita belanja online, pegeluaran ketika ke rumah sakit, sekolah, berwisata, dan sebagainya.

Kalau keranjang belanja saya dan istri digunakan sebagai acuannya, isinya kira-kira, ya, beras, cabe, bawang, mi instan, margarin, roti tawar, dan pastinya kacang hijau. Kadang juga belanja baju anak, popok bayi, celana dalam. Nggak, saya nggak pakai singlet. Sesekali beli aksesoris atau perhiasan, yang ini saya lebih sering daripada istri, beli gelang atau kalung di Blok M atau Lazada.

Kadangkala saya dan istri juga harus beli obat atau bayar uang konsutasi dokter, beli bensin atau bayar uang angkot dan taksi, bayar tagihan listrik, internet, telepon. Dan, tentu pengeluaran yang cukup besar untuk SPP anak yang kebetulan bersekolah di sekolah swasta. Sesekali harus alokasikan juga untuk keluar makan di restoran atau bahkan bayar hotel berlibur, ke Bandung misalnya.

inflasi harga daging sapiIsi keranjang belanja Anda, walau berbeda, mungkin ada kemiripan dengan isi keranjang belanja saya. Tapi keranjang belanja teman-teman saya di kampung halaman di Sumatera Barat sana mungkin berbeda dengan saya. Demikian juga isi keranjang belanja Pak Jokowi, Pak Prabowo atau isi keranjang belanja Ibu Puan Maharani, Raisa, atau BCL tentu berbeda dengan isi keranjang belanja saya atau istri saya.

Isi Keranjang Belanja Masyarakat Indonesia

Karena BPS tujuannya mengukur harga dari isi keranjang belanja masyarakat Indonesia, maka mereka melakukan survei untuk mencari tahu seperti apa sih isi keranjang belanja ‘tipikal’ masyarakat Indonesia, yaitu secara rata-rata bagaimana masyarakat Indonesia mengeluarkan uangnya. Tidak hanya apa saja isinya, tetapi juga berapa alokasi untuk masing-masing pengeluaran tersebut. Jelas, saya menghabiskan lebih banyak uang untuk membayar SPP sekolah anak dibandingkan yang saya habiskan untuk beli gelang di Blok M, misalnya.

BPS juga tahu, kalau pola belanja dan pengeluaran masyarakat Indonesia berubah dari waktu ke waktu. Secara regular BPS juga merubah isi keranjang tipikal masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu, misal setelah 5 tahun.

Jadi, yang diukur oleh BPS dalam menghitung angka inflasi atau IHK adalah perubahan harga dari isi keranjang belanja rata-rata masyarakat Indonesia. Berdasarkan survei terakhir pada tahun 2012, berikut adalah isi keranjang belanja masyarakat Indonesia menurut BPS, dan persentase atau proporsi (weighting) masing-masingnya:

1. Bahan Makanan: 18,85%   (tahun 2007: 19,57%)

2. Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau:  16,19% (2007: 16,55%)

3. Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar:  25,37% (2007: 25,41%)

4. Sandang: 7,25% (2007: 7,09 )

5. Kesehatan: 4,73% (2007: 4,45%)

6. Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga: 8,46% (2007: 7,81%)

7. Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan: 19,15% (2007: 19.12%)

Apakah isi keranjang belanja Anda, pengeluaran rutin Anda mirip alokasinya dengan hasil survei BPS di atas? Yaitu menghabiskan lebih dari sepertiga dari total pengeluaran Anda untuk kebutuhan paling primer yaitu makanan dan minuman? Sebagian mungkin iya, tapi kemungkinan sebagian besar tidak, karena bagi Anda kaum menengah atau menengah atas urban, pengeluaran sekunder dan tersier mungkin lebih besar proporsinya.

inflasi harga daging sapiJika kita bandingkan dengan negara maju, seperti AS (Amerika Serikat), pola belanja kita juga berbeda. Berdasarkan data komposisi inflasi (IHK) AS dari BLS, masyarakat AS hanya mengalokasikan 14.9% dari total pengeluarannya untuk kebutuhan makanan dan minuman, sementara masyarakat Indonesia mengalokasikan lebih dari dua kali lipat, yaitu 35.04% untuk kebutuhan makan dan minum. Tentu, perlu diketahui, metode IHK di AS mungkin tidak persis sama dengan di Indonesia.

Dapat juga kita baca dari data BPS di atas, bahwa dalam periode 5 tahun, yaitu dari tahun 2007 hingga tahun 2012, proporsi belanja masyarakat Indonesia untuk kebutuhan dasar seperti makanan, minuman, atau tagihan listrik, air, dll berkuran. Sementara alokasi untuk kebutuhan tersier dan gaya hidup seperti pendidikan, rekreasi, dan lain-lain bertambah. Ini merupakan cerminan bertambah makmurnya masyarakat Indonesia. Tren ini telah dan terus berlangsung dalam 15-20 tahun terakhir, semenjak krisis ekonomi tahun 1997-98.

Jadi, rejim berganti-ganti di negeri ini, sebagian kita suka, sebagian kita benci, namun secara keseluruhan, secara rata-rata, kemakmuran ekonomis bangsa Indonesia terus membaik.

Inflasi Kita vs Inflasi Rata-rata Masyarakat Indonesia

Nah, kembali pada pertanyaan awal kita, kenapa angka inflasi yang diumumkan BPS sepertinya biasa-biasa saja meskipun sering kita tahu harga kebutuhan pokok tertentu kadang melonjak luar biasa?

Yang pertama, seperti kita tahu persentase dari masing-masing komoditas itu tidaklah terlalu besar. Misalnya, bahan makanan proporsinya hanya 19% dari total IHK atau isi keranjang belanja masyarakat Indonesia. Namun dari proporsi yang 19% ini terdiri dari puluhan atau bahkan ratusan jenis bahan makanan yang terbagi dalam 11 sub kategori seperti sayuran, padi/umbi, bumbu, dan lain-lain. Jadi kenaikan satu jenis komoditas belum tentu berkontribusi banyak secara keseluruhan pada angka inflasi.

Justru, kadangkala, ada diskoneksi juga antara kita masyarakat menengah perkotaan dengan masyarakat Indonesia kebanyakan. Heboh mengenai kenaikan harga daging sapi, umpamanya, tidak terlalu dipedulikan oleh orang-orang kampung saya, yang banyak dari mereka makan daging sapi cuman setahun sekali ketika Hari Raya Idul Adha. Tapi jangan dikata kalau harga cabe yang naik tak masuk akal, bisa terjadi perang dunia ke-empat!

Yang kedua, melonjaknya harga komoditas tertentu, seperti cabe atau bawang, seringkali diikuti dengan turunnya kembali harga komoditas tersebut, kadang bisa hanya terjadi dalam dalam waktu yang relatif singkat. Hanya saja kita sering ‘lupa’, ketika harga tersebut sudah turun kembali.

Nah, sekarang coba kita tengok 2 grafik di bawah. Grafik yang pertama adalah tingkat inflasi tahunan di Indonesia, sedangkan grafik yang kedua adalah inflasi khusus yang berkaitan dengan makanan (food inflation). Terilhat memang inflasi makanan lebih fluktuatif dari inflasi secara keseluruhan, karena kadang-kadang ada gangguan atau goncangan terhadap suplai, entah hanya sekedar karena cuaca atau sebab-sebab lainnya.

Menarik juga untuk diperhatikan bahwa sebetulnya inflasi makanan melambat dalam setahun terakhir, bahkan lebih rendah daripada inflasi barang dan jasa lain secara keseluruhan.

inflasi harga daging sapi inflasi harga daging sapiNamun, dapat dimengerti kenapa kita resah ketika harga kebutuhan pokok terus melonjak, karena memang sebuah kebutuhan yang mendasar bagi kita. Dan bagi masyarakat dengan pendapatan di bawah rata-rata, proporsi yang mereka habiskan untuk kebutuhan pokok sangat besar sekali.

Keranjang Belanja dan Subsidi BBM

Sebagai catatan tambahan, masalah “isi keranjang belanja” ini juga mungkin dapat menjelaskan ‘kontradiksi’ berkaitan dengan kenaikan harga BBM, atau lebih tepatnya penghapusan subsidi BBM. Pemerintah atau pakar ekonomi berulang kali menegaskan bahwa subsidi BBM dinikmati lebih banyak oleh orang yang mampu, pemilik mobil misalnya, daripada masyarakat kebanyakan. Jadi subsidi itu tidak tepat sasaran dan harus dihapus. Betul sekali.

inflasi harga daging sapiNamun, isi keranjang belanja masyarakat kebanyakan berbeda dengan kaum menengah atas. Proporsi pendapatan yang mereka habiskan untuk transportasi lebih besar dari kaum menengah atas. Juga kenaikan harga BBM mempengaruhi harga kebutuhan pokok yang juga secara proporsional pengeluaran yang besar bagi masyarakat menengah bawah. Dalam kata lain, meskipun secara nominal uang, kaum menengah atas lebih banyak “dirugikan” oleh pencabutan subsidi, tetapi secara riil dampaknya lebih besar dirasakan masyarakat menengah bawah. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini, pemerintah harus berusaha ‘mengkompensasi’ masyarakat yang kurang beruntung, terhadap implikasi negatif dari kenaikan BBM.

Kesimpulannya, inflasi nasional berdasarkan isi keranjang belanja rata-rata masyarakat Indonesia. Inflasi yang masing-masing kita rasakan secara personal, bergantung pada isi keranjang belanja kita yang bisa jadi sangat berbeda dengan rata-rata atau kebanyakan rakyat Indonesia.

Dan, melonjaknya harga komoditas pangan masyarakat, bisa disebabkan oleh tidak efisiennya proses produksi dan distribusi, atau adanya pihak-pihak tertentu yang dapat mengendalikan suplai dan harga untuk kepentingan mereka sendiri, tidak usah segan-segan kita namakan mereka sebagai mafia, jika mereka memang ada. Dan, pemerintahlah yang memiliki kemampuan dan wewenang paling besar di antara kita dalam berusaha menemukan jalan keluarnya.

 

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY