Pekan lalu, Biro Statistik Ketenagakerjaan AS (BLS) mengumumkan naiknya angka pengangguran di AS dari 4.3% menjadi 4.4%. Data ketenagakerjaan bisa  dikatakan satu dari sedikit data yang sangat ditunggu-tunggu pelaku pasar dan memberikan implikasi yang besar terhadap bagaimana investor dan ekonom membaca situasi ekonomi. Kenaikan tingkat pengangguran di AS pekan lalu itu direspon positif oleh pasar, indeks saham naik, dollar AS pun menguat.

Tingkat pengangguran naik, kok pasar merespon positif? Apakah ini spekulasi?

Sebetulnya, yang dirilis BLS tidak hanya tingkat pengangguran (Unemployment Rate), tetapi juga beberapa data ketenagakerjaan lain, termasuk yang paling ditunggu pasar yaitu Non-Farm Payroll (NFP), yang merupakan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan di semua sektor — kecuali sektor pertanian. Ini adalah indikator yang sangat penting dan paling ditunggu. Pertambahan NFP berarti penambahan jumlah orang bekerja. Ha ini tidak hanya merefleksikan tumbuhnya aktivitas bisnis, tetapi juga sinyal akan membaiknya daya beli dan konsumsi masyarakat, yang merupakan bagian terbesar dari ekonomi.

Kantor Biro Statistik Ketenagakerjaan AS.

Benar, NFP naik pekan lalu sebesar 222 ribu, dalam kata lain ada penambahan jumlah orang yang bekerja di AS sepanjang bulan lalu, diluar sektor pertanian, sebanyak 222 ribu orang. Jadi ada 222 ribu orang plus kerabat dan keluarga mereka yang merayakan rejeki memperoleh pekerjaan. Angka 222 ribu ini juga lebih besar dari prediksi pasar. Jadi, sekarang kita mengerti kenapa pasar saham dan pasar mata uang bereaksi positif.

“Kok bisa, ketika ratusan ribu orang mendapat pekerjaan, tingkat pengangguran naik??”

Wait, tunggu dulu, bukannya tingkat pengangguran naik? Betul, tingkat pengangguran naik dari 4.3% menjadi 4.4%. Kok bisa, ketika ratusan ribu orang mendapat pekerjaan, tingkat pengangguran naik?? Wah, ini manipulasi data atau statistiknya AS nggak bener nih, mungkin begitu komentar sebagian orang yang skeptis. Dengan segala kekurangannya, data ekonomi di AS dianggap yang paling lengkap, akurat, dan transparan sebetulnya, dibandingkan negara-negara lain di dunia.

Data di atas benar, tingkat pengangguran memang bisa naik ketika semakin banyak orang bekerja. Sebaliknya, tingkat pengangguran bisa turun ketika semakin sedikit orang bekerja. Tentu secara umum, perbaikan dalam ekonomi menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi tingkat pengangguran. Namun, ada hal yang sedikit teknis dari istilah tingkat pengangguran ini yang perlu kita pahami, supaya bisa menjawab kebingungan tersebut, agar tidak terdorong untuk berprasangka buruk terhadap penyedia data.

Tingkat pengangguran bukanlah jumlah orang yang tidak bekerja relatif terhadap jumlah penduduk atau total populasi. Kenapa bukan? Anak saya ada tiga orang, masing-masing berusia 3 bulan, 8 tahun, dan 11 tahun. Tidak satu pun dari mereka yang bekerja. Saya tidak pernah menamakan mereka pengangguran. Dan saya yakin sahabat pembaca juga tidak akan melabeli anak-anak saya pengangguran, karena mereka memang masih dalam usia sekolah. Demikian juga bapak mertua saya yang berusia 78 tahun di Bandung sana sudah lama tidak bekerja, tidak akan berani saya bilang beliau penganggur, karena beliau memang sudah pensiun sekian tahun lamanya.

Jadi, di dalam populasi sebuah negara, tidak semua orang diharapkan (atau dibolehkan) untuk bekerja. Umur adalah salah satu faktor utama, yaitu populasi yang termasuk usia kerja (working age), misalnya orang-orang yang berumur 15-64 tahun. Orang-orang di luar kisaran umur ini tidak diharapkan atau tidak dibolehkan bekerja.

Istri saya sebelumnya bekerja pada sebuah perusahaan, kemudian memutuskan berhenti bekerja dari perusahaan tersebut, karena merasa beban kerja di keluarga semakin besar bagi dia. Saya juga tidak menamakan istri saya seorang pengangguran, bisa-bisa saya disuruh tidur di sofa kalau berani bilang begitu.

Istri dan ketiga orang anak saya ini, termasuk bayi kecil yang menangis itu, tidaklah bekerja secara formal, namun mereka bukanlah pengangguran.

Ada orang-orang yang termasuk dalam golongan usia kerja, namun bisa saja tidak butuh bekerja dan/atau memutuskan tidak untuk bekerja — secara formal. Misalnya, melanjutkan pendidikan, pensiun dini, bekerja dalam keluarga (ibu atau bapak rumah tangga), atau hal-hal produktif lainnya namun tidak memperoleh kompensasi finansial, seperti jadi relawan, biksu, dan lain-lain.

Jika orang-orang di atas tidak bekerja, yaitu yang bukan tergolong working age atau memutuskan tidak bekerja karena aktivitas lain, mereka tidak digolongkan sebagai pengangguran. Tidak hanya secara definisi ekonomi, bahkan secara sosial kita juga tidak akan melabeli mereka sebagai pengangguran.

“Discouraged worker adalah orang yang termasuk dalam usia kerja, kehilangan pekerjaan, tapi tidak lagi aktif mencari pekerjaan”

Tapi, ada satu golongan ketenagakerjaan yang definisi secara ekonominya mungkin tidak sesuai dengan pandangan sosial sehari-hari, yaitu discouraged worker. Sesuai namanya, discouraged worker adalah orang yang termasuk daam usia kerja, dan biasanya bekerja, kemudian kehilangan pekerjaan, berusaha mencari pekerjaan lagi, tetapi setelah sekian lama tidak berhasil akhirnya putus asa dan tidak lagi aktif mencari pekerjaan.

Mereka ini tidak digolongkan sebagai pengangguran, secara ekonomi. Walau, saya yakin secara sosial masyarakat akan tetap menganggap mereka sebagai pengangguran.

Jadi, jika boleh saya simpulkan, bahwa yang tergolong labor force (tenaga kerja yang tersedia) adalah total populasi apda sebuah negara/wilayah, dikurangi 3 hal  berikut:

1) yang bukan usia kerja;

2) yang tidak butuh berkerja dan memutuskan tidak bekerja;

3) yang sebetulnya butuh pekerjaan tapi tidak lagi aktif mencari pekerjaan

Labor Force = Population – (1) – (2) – (3)

Dalam kata lain, tidak semua populasi berpartisipasi dalam ketenagakerjaan. Partisipasi tenaga kerja (labor force participation) adalah persentase jumlah labor force relatif terhadap total populasi.

Karena orang-orang dalam golongan di atas bukanlah labor force atau sumber tenaga kerja, ketika mereka tidak bekerja secara formal, mereka tidak tergolong pengangguran. Jadi yang dapat digolongkan pengangguran adalah labor force yang tidak memiliki pekerjaan.

Pengangguran  = Labor Force – Orang Yang Bekerja 

Kembali ke pertanyaan awal kita. Kalau pengangguran adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia (labor force) dikurangi orang bekerja, kenapa tingkat pengangguran di AS justru naik dari 4.3% menjadi 4.4% bulan Juni lalu ketika jumlah orang yang bekerja (NFP) justru naik 222 ribu orang? Jika dilihat dari rumus di atas, kemungkinannya adalah Labor Force bertambah, atau secara persentase labor force partifipation meningkat.

“Yang terjadi dalam jangka pendek, biasanya adalah faktor siklikal, terutama berkurangnya discouraged workers”

Benar sekali, yang terjadi adalah labor force bertambah lebih banyak dari jumlah orang yang mendapat pekerjaan. Kenapa labor force  bisa bertambah? Kita bisa melihat faktor (1), (2), dan (3) di atas. Ada yang sifatnya struktural, seperti bertambahnya penduduk usia kerja atau working age, bisa yang sifatnya siklikal. Yang terjadi dalam jangka pendek, biasanya adalah faktor siklikal, terutama berkurangnya discouraged workers.

Ketika ekonomi membaik dan perusahaan-perusahaan mulai merekrut tenaga kerja, orang-orang yang tadinya putus asa mencari pekerjaan bersemangat lagi, dan mulai aktif melamar pekerjaan, sehingga menaikkan jumlah labor force (tenaga kerja yang tersedia di pasar). Ketika penambahan labor force — akibat turunnya discouraged workers — lebih besar dari bertambahnya jumlah pekerjaan tersedia, tentu tingkat pengangguran akan bertambah. Itulah yang terjadi bulan lalu di AS!

Hal yang sebaliknya juga sering terjadi, dalam fasa-fasa tertentu pada sebuah periode pelemahan ekonomi, tingkat pengangguran justru turun ketika orang-orang banyak kehilangan pekerjaan. Penyebabnya sama, yaitu orang-orang putus asa tidak dapat menemukan pekerjaan karena kondisi ekonomi yang tidak baik, dan memutuskan berhenti mencari pekerjaan (discouraged workers), artinya labor force menurun, dan secara persentase tingkat pengangguran bisa saja turun jika jumlah PHK tidak sebesar jumlah bertambahnya discouraged workers.

Kesimpulannya, tingkat pengangguran (unemployment rate) tidak hanya tergantung pada jumlah pekerjaan yang tersedia (job creation), tetapi juga tergantung pada partisipasi masyarakat untuk bekerja (labor force participation rate)

 

Tingkat Pengangguran (biru) vs Labor Force Participation Rate di AS (hitam). Terlihat tingkat partsipasi untuk bekerja di AS menurun terus menerus sejak krisis 2008, sehingga membantu pula turunnya tingkat pengangguran. Tingkat partisipasi masyarakat untuk bekerja baru mulai membaik sejak tahun 2016 lalu, yang memperlambat penurunan tingkat pengangguran.

Pasar AS minggu lalu bereaksi positif, bukan karena tingkat pengangguran naik, tetapi karena bertambahnya jumlah orang bekerja secara absolut. Lalu, apakah tingkat pengangguran jadinya tidak relevan, karena bisa misleading dan karena yang lebih penting adalah jumlah orang bekerja secara absolut? Tidak juga, informasi tingkat pengangguran sangat penting bagi perekonomian dan kebijakan perekonomian yang diambil. Bahkan, di banyak negara  dua indikator utama sebuah ekonomi adalah: pertumbuhan dan tingkat penangguran. Kita akan bicarakan di kesempatan lain!

 

Salam, RF – www.frindosonfinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY